
Scrolling adalah kerja, klik adalah komoditas
Oleh: Fitri Sarasati
WARTAPERWIRA.COM – Pernahkah Anda merasa YouTube seperti membaca pikiran Anda? Kita klik satu video, dan tiba-tiba muncul rekomendasi yang nyaris selalu sesuai minat. Di balik kenyamanan ini, ada sistem kapitalisme algoritmik yang sangat canggih dimana setiap klik, tonton, dan komentar yang kita berikan adalah data mahal yang dijual kepada pengiklan. Kita tidak hanya menjadi pengguna, tetapi juga pekerja tak kasat mata yang memperkaya platform.
Fenomena hyper-personalized recommendation bukan sekadar kebetulan teknis, melainkan produk dari kapitalisme algoritmik yang dikritisi oleh banyak pemikir media kritis. Dallas Smythe, misalnya, menegaskan bahwa audiens bukan hanya penerima pesan, tetapi komoditas itu sendiri. Setiap detik perhatian yang tercurah, setiap klik, dan pola perilaku pengguna menjadi aset ekonomi yang dijual kepada pengiklan global. Artinya, meskipun platform diklaim gratis, pengguna justru “membayar” dengan data, privasi, dan waktu hidup mereka sumber daya yang tidak tergantikan.
Sut Jhally melengkapi kritik tersebut dengan menunjukkan bahwa media digital bukan semata-mata kanal distribusi barang konsumsi, melainkan kanal distribusi manusia sebagai target pemasaran. Dengan kata lain, yang diperjualbelikan bukan sekadar produk, tetapi kita para pengguna yang dikurung dalam apa yang Mark Andrejevic sebut sebagai digital enclosure. Konsep digital enclosure menjelaskan bagaimana platform menciptakan ilusi kebebasan dan partisipasi, padahal seluruh aktivitas pengguna dipetakan dan dimonetisasi. Kita merasa bebas memilih, tetapi sebenarnya pilihan kita sudah dibatasi, dikurasi, dan diarahkan oleh logika algoritme yang memaksimalkan engagement demi profit.
Aspek lain yang sangat penting adalah dampak pada para kreator konten. Di permukaan, YouTube tampak seperti ruang kreatif yang demokratis, tetapi pada praktiknya logika algoritme menciptakan seleksi buatan. Video yang sensasional, penuh kontroversi, dan memicu emosi negatif sering kali mendapat distribusi lebih luas dibanding konten reflektif atau edukatif. Akibatnya, banyak kreator mau tak mau mengikuti irama platform, menanggalkan idealisme, dan menjadikan kehidupan personal sebagai komoditas tontonan. Fenomena ini menciptakan tekanan mental, degradasi nilai, dan normalisasi eksposur privasi demi monetisasi.
Ironi terbesar terletak pada relasi kuasa yang timpang. Kita merasa sebagai pengguna aktif yang mengendalikan apa yang ingin ditonton, padahal kita adalah pekerja digital tak kasat mata yang memasok data berharga. Setiap aktivitas di platform menyumbang laba luar biasa bagi korporasi teknologi, sementara pengguna jarang memperoleh imbal balik yang sepadan. Ini menunjukkan bagaimana kapitalisme digital berhasil menata ulang relasi ekonomi dan sosial, mengkomodifikasi hampir semua dimensi pengalaman manusia.Dalam konteks teori media kritis, fenomena ini juga berkaitan dengan surveillance capitalism yang dikemukakan Shoshana Zuboff. Pengawasan digital tidak hanya bersifat pasif (mengumpulkan data), tetapi juga aktif (mengantisipasi, mengarahkan, dan memengaruhi perilaku). Algoritme rekomendasi YouTube menjadi instrumen yang sangat ampuh untuk nudging pengguna agar semakin lama tinggal di platform. Ketergantungan ini secara tidak langsung memfasilitasi akumulasi kapital pemilik platform teknologi dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Kesadaran menjadi fondasi untuk membangun resistensi dengan memahami cara kerja platform, menyadari posisi kita sebagai pekerja data, dan mendukung ekosistem digital yang lebih adil. Langkah-langkah seperti mendorong transparansi algoritme, mendukung kreator independen, dan menjajaki alternatif platform etis menjadi wujud konkret perlawanan terhadap dominasi kapitalisme digital. Karena pada akhirnya, dalam dunia digital, kesadaran bukan hanya bentuk perlawanan tapi juga bentuk kebebasan sejati.
Tentang Penulis
Fitri Sarasati adalah dosen tetap di Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Satya Negara Indonesia. Ia memiliki ketertarikan dalam bidang Media Studies, Komunikasi Digital, dan Ekonomi Politik Media. Saat ini sedang menempuh studi doktoral di Universitas Sahid Jakarta.
Editor: Dedi Widiyanto