
WARTAPERWIRA.COM, Selasa (7/9) – Runtuhnya bangunan Pondok Pesantren Al-Khoziny di Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, yang menelan korban hingga 66 jiwa menjadi tragedi kemanusiaan yang menyentak nurani bangsa. Musibah itu tidak hanya menyisakan duka bagi keluarga korban, tetapi juga membuka mata tentang lemahnya kepatuhan terhadap standar keselamatan bangunan di negeri ini.
Tragedi Robohnya Musala di Ponpes Sidoarjo: Bukti Nyata Pentingnya Sertifikat Laik Fungsi (SLF)
Fakta menunjukkan, bangunan musala dua lantai di kompleks pesantren itu diduga roboh karena kegagalan struktur saat proses pengecoran lantai atas. Lebih memprihatinkan lagi, indikasi kuat menyebutkan bahwa bangunan tersebut belum memiliki Sertifikat Laik Fungsi (SLF) dokumen penting yang menandakan bahwa suatu bangunan telah diuji secara teknis dan dinyatakan aman digunakan.
Tragedi ini hanyalah satu dari banyak contoh kelalaian sistemik dalam tata kelola bangunan publik di Indonesia. Bukan hanya lembaga pendidikan, tetapi juga rumah ibadah, gedung serbaguna, ruko bertingkat, rumah sakit hingga kantor pemerintahan, banyak yang berdiri tanpa pemeriksaan struktur yang memadai. Padahal, SLF merupakan instrumen utama untuk menjamin keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan penggunaan bangunan sesuai amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
Tanggung Jawab Moral dan Hukum: SLF Harus Jadi Standar, Bukan Formalitas
Ironisnya, sebagian masyarakat bahkan instansi masih memandang SLF sebagai beban birokrasi. Padahal, kelengkapan administrasi seperti Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) dan SLF bukan sekadar tumpukan berkas, melainkan hasil pengujian teknis terhadap kekuatan struktur bangunan, sistem drainase, kelistrikan, hingga akses evakuasi darurat. Mengabaikannya sama saja mempertaruhkan nyawa manusia.
Tragedi Ponpes Al-Khoziny harus menjadi peringatan nasional. Pemerintah daerah melalui Dinas PUPR, Dinas Perizinan, dan instansi teknis lain perlu melakukan audit menyeluruh terhadap semua bangunan publik dan fasilitas umum tanpa kecuali. Pengawasan tidak boleh berhenti di tahap pembangunan, tapi harus berlanjut hingga penerbitan dan pembaruan SLF secara berkala.
Bagi para pemilik bangunan, lembaga pendidikan, pengurus rumah ibadah, rumah sakit hingga pengembang properti, kesadaran ini harus tumbuh sebagai tanggung jawab moral. Jangan sampai semangat membangun fasilitas umum justru berujung pada kehilangan nyawa karena abai terhadap prosedur keselamatan.
Penegakan hukum juga wajib dijalankan. Jika terbukti ada kelalaian dalam perencanaan, pengawasan, atau pelaksanaan proyek, maka proses hukum harus ditegakkan dengan tegas. SLF tidak boleh dianggap sekadar “stempel legalitas”, melainkan jaminan hidup bagi masyarakat yang memanfaatkan bangunan tersebut.
Momentum Perubahan: Saatnya Tata Kelola Bangunan Berpihak pada Keselamatan Publik
Tragedi Sidoarjo hendaknya menjadi momentum perubahan. Dari perencanaan hingga penggunaan, setiap bangunan publik harus melewati proses verifikasi yang ketat. Sebab, keselamatan publik bukan sekadar urusan teknis, melainkan tanggung jawab kemanusiaan.
Ketika setiap bangunan berdiri di atas dasar kepatuhan, transparansi, dan tanggung jawab, maka nyawa manusia tidak lagi menjadi korban dari kelalaian yang bisa dicegah.
(Redaksi Warta Perwira)