01.07.2025

 

SPMB 2025 dan Ilusi Sekolah Favorit Tanpa Titipan
SPMB 2025 benarkah Sekolah Favorit Tanpa Titipan?

WARTAPERWIRA.COM-Tiap tahun, musim Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) atau SPMB selalu menjadi momen penuh harap—dan keresahan. Harap bagi para orang tua dan siswa yang bermimpi masuk sekolah negeri favorit. Resah karena setiap tahun pula muncul isu yang sama: praktik “titip-menitip” calon siswa oleh pejabat, tokoh masyarakat, hingga elite politik setempat. Tahun ini, KPK dan Ombudsman mulai ambil peran. Tapi pertanyaannya: benarkah SPMB 2025 akan bebas dari titipan?

Sekolah Favorit: Lahan Basah dan Titipan Keringat Orang Lain

Fenomena sekolah favorit bukan sekadar soal kualitas guru atau prestasi akademik. Ia juga menjadi simbol gengsi sosial. Dan seperti halnya segala sesuatu yang bernilai tinggi di negeri ini, jalur pintas pun terbuka lebar. “Anak pejabat, anak pengusaha besar, bisa masuk lewat jalur belakang,” begitu keluhan masyarakat.

Manipulasi surat domisili, pemalsuan data prestasi, hingga intervensi langsung dari pihak berwenang—ini semua bukan cerita baru. Yang baru adalah kesadarannya kini makin terbuka, publik makin berani bersuara, dan lembaga pengawas mulai bertindak.

Ketegasan yang Mulai Terlihat

Beberapa kota telah menunjukkan itikad baik. Di Depok, 206 SD dan 34 SMP menandatangani pakta integritas untuk menolak segala bentuk titipan. (liputan6.com). Di Madiun, jalur prestasi mulai diproteksi lewat seleksi objektif berbasis rapor (jawapos.com). Di Tangsel, Tim Saber Pungli disiagakan selama masa PPDB. Ombudsman juga memantau ketat daerah rawan kecurangan.

Bahkan KPK sudah mengingatkan langsung pejabat daerah untuk tidak ikut campur urusan penerimaan siswa. Sebuah langkah yang patut diapresiasi. Tapi, langkah itu masih bersifat reaktif. Sebab masalahnya bukan cuma soal individu yang “nakal”, tapi sistem yang membuka celah dan budaya yang membenarkannya.

Titipan saat SPMB adalah Cermin Ketimpangan

Titipan tidak akan terjadi jika semua sekolah memiliki kualitas yang setara. Sayangnya, persepsi “sekolah bagus” masih hanya disematkan ke segelintir sekolah negeri. Maka masuk ke sana bukan sekadar soal pendidikan, tapi juga investasi sosial.

Dan selama bimbel mahal, akses informasi, dan jaringan sosial masih jadi faktor dominan untuk lolos seleksi, maka meritokrasi hanya akan jadi jargon. Yang punya kuasa tetap di atas; yang berjuang dari bawah tetap tersingkir.

Apa yang Harus Dilakukan?

Pertama, pengawasan tidak boleh berhenti di tahapan seleksi. Harus ada audit pasca-PPDB—siapa yang masuk lewat jalur tidak sah harus dievaluasi dan dibatalkan.

Kedua, sanksi tidak boleh hanya bagi kepala sekolah atau panitia. Orang tua yang menyuap juga harus dibuka ke publik. Tanpa malu sosial, praktik ini akan terus berulang.

Ketiga, pemerataan kualitas sekolah harus jadi agenda jangka panjang. Tidak ada gunanya sistem seleksi “adil” jika hanya sekolah tertentu yang dianggap layak.

Penutup: Bersih Itu Bukan Mustahil

Apakah SPMB 2025 bisa benar-benar bersih dari titipan? Mungkin tidak seratus persen. Tapi bukan berarti kita menyerah. Setiap langkah kecil—dari pengawasan, pelaporan publik, hingga penolakan panitia terhadap tekanan dari atas—adalah bagian dari perjuangan.

Dan perjuangan ini tak bisa hanya dibebankan pada pemerintah. Orang tua, guru, media, dan siswa sendiri harus terlibat. Karena pendidikan yang bersih bukan hanya soal masuk sekolah favorit, tapi soal membangun generasi yang tahu arti kejujuran dan keadilan.

Redaksi Warta Perwira

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *