
Ilustrasi Masyarakat Marjinal (Dok : Unplash)
WARTA PERWIRA.COM-Pers selama ini selalu hadir sebagai Ruang publik terbuka dan inklusif bagi siapa saja, masyarakat manapun secara umum yang ingin mengungkapkan mengenal segala hal yang terkait dengan persoalan kehidupan sosial. Ruang yang disajikan pers sangat mendukung suasana kesetaraan.
Walaupun sebenarnya ketika berbicara ruang publik, siapapun bebas untuk menciptakan dan mengkondisikannya, selama persoalan-persoalan yang dibahas terkait dengan kepentingan publik. Adapun ruang publik dimaksud tidak berbicara tentang tempat terbuka secara fisik seperti lapangan, auditorium apapun sifatnya seperti itu.
Ruang publik dalam hal ini adalah ruang publik dimanapun kita berada, dan topik yang kita sampaikan, komunikasikan terkait dengan kepentingan publik secara umum. Dimana masyarakat tercerahkan, terkuatkan dan terbebaskan dari kenyataan-kenyataan palsu yang selama ini melingkupi kehidupan mereka.
Adapun proses komunikasi yang berlangsung di ruang publik tentunya disertai dalam suasana kebebasan, jaminan tanpa adanya unsur tekanan, intervensi dari siapapun yang akan mengganggu berjalannya komunikasi.
Hal tersebut selaras dengan pemikiran Budi Hardiman (2013) Ruang Publik sendiri merupakan ruang untuk menemukan sebuah kesepakatan yang didalamnya terdapat interaksi dan komunikasi yang memiliki sifat bebas serta tidak ada perselisihan atau penindasan apapun. Sehingga, dari adanya ruang publik akan tercipta suatu nalar dan komunikasi yang sukses serta sebuah pemikiran yang saling mengerti dan memahami.
Di ruang publik Perslah tercipta dan mampu mengkondisikan suasana diskursus komunikasi siapapun ketika terkait dengan publik. Ruang publik pers saat ini terkait dengan kekinian kemajuan teknologi digital, sehingga mampu menembus ruang batas ruang, waktu, tempat dan jarak sekalipun dalam waktu singkat dan hitungan detik.
Ruang publik pers mampu menjadi tempat bertemunya semua orang dari manapun berada, membawa persoalan-persoalan publik, didiskusikan, dikritisi, diperdebatkan dalam batas-batas demokrasi dan kemanusiaan. Hasilnya sering kita lihat beberapa efek diskursus komunikasi di ruang publik pers mampu mempengaruhi apapun dalam kehidupan, termasuk kebijakan-kebijakan penguasa sekalipun.
Persoalannya adalah, ada sekelompok masyarakat yang tidak pernah terakomodir dalam ruang publik pers. Mereka adalah masyarakat miskin ekstrem, pekerja informal dengan penghasilan tidak tetap, pekerja harian, buruh kasar di kota besar, pemulung di tempat pembuangan akhir sampah, kaum minoritas karena struktur sosial.
Mereka semua tersebut diatas tidak mempunyai akses pada kekuasan, sumber daya, layanan sosial. Tentunya ruang publik pers harus mampu memberikan ruang bagi mereka untuk dapat didengar suaranya. Apapun status dan kondisinya mereka adalah saudara-saudara kita dan warga masyarakat rakyat Indonesia yang harus mendapatkan perlakuan yang sama, sebagai warga negara.
Selama ini mereka sebagai masyarakat marjinal nyaris tidak terdengar dalam hiruk pikuk dominasi masyarakat lainnya yang selama ini eksis di ruang publik. Padahal masyarakat marjinal ini mempunyai potensi-potensi yang dapat di tumbuh kembangkan menjadi kekuatan positif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Akomodir masyarakat marjinal di ruang publik pers
Fungsi informasi, edukasi pers ketika akan dipublikasi setidaknya didahului oleh proses identifikasi simpul-simpul masyarakat marjinal dengan persoalan-persoalan yang mereka hadapi dan alami dalam kesehariannya. Proses pendekatan ini setidaknya mampu memberikan kebahagiaan dan kebanggaan bagi mereka, ketika nilai-nilai derajatnya diakui oleh pers.
Berikanlah ruang pada mereka untuk bercerita menyampaikan apapun yang menjadi persoalan utama maupun kendala-kendala yang dihadapi oleh mereka. Data yang didapatkan tentunya akan menjadi nilai informasi berharga bagi pers, yang dapat mengangkat masyarakat marjinal perlahan dan pasti akan hadir di tengah ruang publik.
Prinsip jurnalistik dalam lingkup kode etik jurnalistik tetap menjadi acuan, jangan sampai karena ingin mendapatkan nilai lebih di ruang publik pemberitaan tentang masyarakat marjinal yang muncul tanpa observasi, wawancara maupun verifikasi secara ketat. Sehingga yang muncul diruang publik adalah komoditas berita yang terjebak karena pertimbangan komersialisme semata.
Survei indeks Kemerdekaan Pers Indonesia 2017 (dewanpers.or.id), Para informan ahli menilai, kalaupun media memberitakan masalah kelompok rentan, perspektif mereka masih belum menunjukkan keberpihakan pada kelompok masyarakat ini. Media pers masih cenderung melihat kelompok rentan lebih sebagai “obyek berita” terutama ketika kehadiran mereka meletup sebagai persoalan, seperti saat mereka berunjuk rasa, menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga untuk perempuan dan anak-anak, menentang penggusuran (bagi kelompok marginal), atau mengalami busung lapar.
Kredibilitas pers dalam masyarakat marjinal
Krebilitas pers akan dilihat di mata publik dari luaran fungsi-fungsinya yang senantiasa mendasarkan pada prinsip objektifitas, netralitas, keberimbangan dan kemandirian. Berita-berita yang diterima selanjutnya akan dipersepsi dan dipahami oleh publik sebagai berita-berita rujukan informasi valid dan dapat dipertanggung jawabkan secara profesionalitas.
Kedekatan hubungan yang dibangunpun oleh pers dengan masyarakat marjinal, tentunya kedekatan alamiah berdasarkan profesionalisme seluruh para jurnalisnya. Dan menjadi bagian dari proses pemberitaan yang tidak pernah terlewatkan, sehingga publik akan melihat bahwa pers selama ini mampu berfungsi menjadi ruang publik yang egaliter, menyeimbangkan seluruh kelompok masyarakat tanpa kecuali untuk hadir didalamnya.
Ruang publik pers bagi masyarakat marjinal, tentunya akan menjadi bukti kredibilitas dan kapasitas pers ketika kemampuan keahlian dan integritas kejujuran para jurnalisnya mampu mengangkat persoalan-persoalan apapun yang ada dalam kehidupan masyarakat marjinal secara proporsional, yang selama ini terabaikan dan minus hadir diruang publik.
(Redaksi Warta Perwira)