09.11.2025
Ruang Gema di Belantara Algoritma Media Sosial

Ilustrasi Media Sosial (Sumber : Pixabay)

WARTA PERWIRA.COM –Siapapun yang memegang ponsel sejatinya adalah sebagai media komunikasi antar mahluk sosial dalam kehidupan sosial. Ponsel ini digunakan sebagai bagian dari luaran produk teknologi dimana didalamnya terdapat fitur-fitur media sosial yang tersaji  yang di fasilitasi oleh internet, untuk memudahkan setiap manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik secara praktis dan efisien.

Secara khusus rata-rata setiap orang menghabiskan waktu dengan media sosial (Facebook, Instagram, X, Youtube, Tiktok)  dalam hitungan yang lama (bahkan mengalahkan urusan-urusan penting yang biasanya kita lakukan), sering kita lihat di mana-mana baik di lingkungan keluarga sendiri, pertemanan, sekolah, kantor suasana pemandangan setiap orang dengan ponselnya.

Pemandangan kontras dan bersamaan terjadi pula dalam kehidupan kita, mulai renggangnya suasana guyub yang menjadi ciri khas masyarakat kita. Suasana ngobrol penuh kehangatan antar tetangga, warga, bahkan didalam keluargapun pemandangan kerenggangan interaksi sudah dianggap biasa.

Dimana antar anggota keluarga berkumpul dalam satu rumah secara fisik mereka hadir (ayah, ibu dan anak) namun semuanya disibukan dengan ponselnya masing-masing. Terjadi kondisi keterasingan antara satu dengan yang lainnya, karena masing-masing sibuk berkomunikasi dengan urusan pribadinya.

Kelekatan setiap orang dengan ponsel melalui media sosialnya, karena kita mengikatkan diri secara khusus untuk menghambakan diri kita pada media sosial yang sudah dianggap sakral, sebagai sumber segala sumber kehidupan informasi. Sungguh fakta ini sangat ironis dan memprihatinkan bagi kita.

Betapa tidak dianggap sakral, karena apapun yang menjadi kebutuhan  kita semuanya terpenuhi dan informasi-informasi apapun yang kita butuhkan pastinya hadir hanya dengan satu tap jari kita, akan bermunculan ribuan informasi .

Sebenarnya tanpa kita sadari proses algoritma dalam fitur-fitur media sosial selama ini berproses, sistem algoritma menentukan pola konten, interaksi dan penyebaran informasi yang tanpa kita sadari membentuk kerangka persepsi kita, keyakinan kita dan harapan kita. Akhirnya kita mempercayai apa yang disajikan oleh proses otomatisasi algoritma dalam media sosial.

Sejalan dengan pemikiran Ali Pariser (2011) menurutnya algoritma menciptakan gelembung informasi dimana pengguna hanya melihat konten yang sejalan dengan pandangannya. Makna dari pemikiran tersebut kita pahami adanya suatu pengkondisian oleh media sosial secara tidak netral, ia membentuk persepsi kita terhadap realistas sosial melalui seleksi algoritmik.

Sederhananya apapun yang kita akses, benar dan yakin menurut kita seolah-olah menjadi suatu kebenaran tunggal yang tidak bisa di perbandingan dengan sumber-sumber lainnya. Akhirnya kita merasa diri kita sebagai sumber kebenaran mutlak dalam informasi sehingga muncul Ruang gema istilah umumnya Echo Chamber.

Echo Chamber adalah suatu kondisi dimana seseorang hanya mempunyai keyakinannya sendiri berdasarkan apa yang dilihat, didengar dengan pandangan atau informasi yang sejalan dengan pendapatnya sendiri. Pandangan yang berbeda diabaikan bahkan disaring oleh algoritma media sosial.

Kesadaran akan ruang gema di media sosial

Ditengah hiruk pikuk dan sesaknya informasi yang bermunculan melalui media sosial dalam kehidupan kita, tentunya kesadaran dini perlu dibangun dalam kerangka mensikapi penggunaan media sosial dengan bijak.

Kecenderungan seseorang untuk menjadi Echo Chamber, karena terpaan informasi yang didapat dari media sosial tentunya menjadi catatan penting bagi kita. Karena apabila Echo Chamber sudah terbentuk, setiap orang akan menghindari dialog dan kemungkinan akan berpikir ekstrem ketika berada dalam ruang dialog.

Kemampuan berpikir kritis untuk memahami penggunaan media sosial, tidak hanya sebatas menggunakan media sosial semata. Namun lebih dari itu kitapun harus memahami bagaimana cara kerja sistem algoritma diterima, dipahami dan dianalisis oleh kita dan selalu melakukan telaah data dari sumber lain yang kita anggap valid dan terverifikasi.

Membiasakan kita untuk selalu melihat sudut pandang lain, sehingga terjadi proses internalisasi informasi dalam benak kita berproses secara seimbang. Dan melakukan telaah proses objektif berdasarkan hal-hal yang lebih rasional yang berasal dari sumber yang dapat dipertanggung jawakan secara otentik. Hal ini kita lakukan untuk tidak terjebak dalam ruang gema yang memframing kita secara sepihak, yang menuntun kita pada arah jalan yang tidak jelas.

Memahami suatu informasi secara utuh, tentunya akan mengarahkan kita untuk tidak terbawa pada informasi-informasi olahan algoritma yang terkadang seolah-olah benar dan meyakinkan. Padahal yang disajikan berupa informasi yang sudah menjadi kesukaan kita dengan menampilkan informasi yang sama untuk memperkuat keyakinan cara pandang kita. Akhirnya kita terjebak dalam ruang gema.

Tidak ada waktu terlambat untuk memahami media sosial, ketika kesadaran kita masih ada dan berpikir logis.

(Redaksi Warta Perwira)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *