
WARTAPERWIRA.COM, Senin (21/12) – Istilah bad news is good news sering disalahpahami sebagai pembenaran bagi jurnalisme yang sensasional dan berfokus pada konflik semata. Padahal, maknanya yang substansial justru menegaskan peran pers sebagai pengawas kekuasaan dan penyampai fakta yang berdampak langsung pada kepentingan publik.
Makna Profesionalisme dalam Praktik Jurnalistik
Berita buruk bukan berarti berita yang dibuat-buat atau dibesar-besarkan, melainkan informasi tentang penyimpangan, ketidakadilan, kegagalan kebijakan, atau keluhan masyarakat yang perlu diketahui publik. Dalam konteks ini, bad news menjadi good news karena membuka ruang koreksi dan evaluasi bagi pemerintah maupun institusi lainnya.
Di sinilah persoalan muncul ketika organisasi wartawan tertentu, menempatkan Ujian Kompetensi Wartawan (UKW) sebagai tolok ukur utama profesionalisme. Secara formal, UKW memang menguji kemampuan teknis wartawan, tetapi kenyataannya di lapangan banyak anggota yang, meski telah bersertifikat, cenderung menulis berita yang aman, positif, dan lebih mirip publikasi humas pemerintah. Mereka jarang mengkritisi kebijakan atau menyuarakan keluhan publik padahal keberanian memberitakan fakta secara utuh, baik yang menyenangkan maupun yang tidak, adalah inti profesionalisme jurnalistik.
Jurnalistik: Integritas Lebih Penting dari Pengakuan
Profesionalisme sejati bukan diukur dari selembar sertifikat atau status organisasi, tetapi dari integritas, keberanian, dan kemampuan menyajikan berita berimbang. Bad news yang disajikan secara akurat dan etis justru menunjukkan komitmen wartawan terhadap fungsi sosialnya sebagai jembatan antara pemerintah dan masyarakat.
Dengan kata lain, menyandang UKW tanpa berani menyuarakan fakta yang tidak nyaman bagi kekuasaan hanyalah formalitas. Untuk menjadikan bad news benar-benar good news, wartawan apapun organisasinya harus berani menegakkan etika dan tanggung jawab sosial, bukan hanya mengandalkan pengakuan sertifikat sebagai bukti profesionalisme.
Redaksi: WartaPerwira