30.06.2025
Foto: Ilustrasi Pernyataan Fadli Zon soal Mei 1998 Dinilai Abaikan Fakta Pemerkosaan Massal
Foto: Ilustrasi pernyataan Fadli Zon soal Mei 1998 berdampak terhadap kepercayaan publik.

WARTAPERWIRA.COM – Pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bidang Kebudayaan, Fadli Zon, yang menyatakan bahwa tidak ada pemerkosaan massal dalam peristiwa kerusuhan Mei 1998, menimbulkan polemik luas di tengah masyarakat, terutama di kalangan perempuan dan penyintas kekerasan seksual. Ungkapan ini bertolak belakang dengan fakta-fakta yang telah dicatat oleh lembaga resmi, dan berpotensi melukai para korban serta menciptakan ketidakpercayaan publik terhadap upaya penegakan keadilan.

Fakta Sejarah Berdasarkan Laporan Resmi

Dalam laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk oleh Presiden BJ Habibie tahun 1998, tercatat bahwa terjadi sedikitnya 85 kasus kekerasan seksual selama kerusuhan Mei, termasuk 52 kasus perkosaan yang sebagian besar menimpa perempuan etnis Tionghoa (TGPF, 1998). Temuan ini kemudian diperkuat oleh laporan Komnas Perempuan yang menyebutkan bahwa kekerasan seksual dalam tragedi Mei bukan hanya fakta historis, tetapi juga luka sosial yang belum sepenuhnya disembuhkan. Banyak korban hingga kini masih memilih diam karena trauma mendalam dan ketakutan terhadap stigma sosial (Komnas Perempuan, 2023).

Implikasi Pernyataan Fadli Zon

Pernyataan Fadli Zon yang menyebutkan bahwa tidak ada pemerkosaan massal dalam peristiwa tersebut dapat dianggap sebagai bentuk pengingkaran terhadap kenyataan sejarah. Sikap ini berpotensi memperburuk trauma para korban dan keluarga mereka, serta merusak kepercayaan publik terhadap upaya pemerintah dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat.

Lebih lanjut, pernyataan ini bertentangan dengan prinsip non-diskriminasi dan pemulihan korban yang dijamin oleh Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 7 Tahun 1984.

Kode Etik Jurnalistik: Membangun Narasi Berdasarkan Fakta

Dalam menyikapi isu ini, media harus tetap menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik, khususnya pada Pasal 1 dan 3, yang mewajibkan wartawan untuk menempuh cara-cara yang profesional, akurat, dan berimbang dalam pemberitaan. Oleh karena itu:

  1. Media harus mengedepankan laporan berbasis fakta, seperti hasil penyelidikan TGPF, temuan Komnas Perempuan, dan pengakuan para korban.
  2. Jurnalis perlu menolak reproduksi narasi yang menyesatkan, bahkan jika itu datang dari pejabat negara.
  3. Korban harus diberikan ruang untuk bersuara, sebagai bagian dari keadilan restoratif.

(Redaksi Warta Perwira)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *