
Pendidikan Global sebagai Reproduksi Kelas
WARTAPERWIRA.COM – Dalam beberapa tahun terakhir, sekolah internasional makin menjamur di kota-kota besar Indonesia. Diiklankan sebagai pendidikan berstandar global, institusi ini menjanjikan kurikulum asing (IB, Cambridge, atau Montessori), lingkungan multikultural, hingga akses lebih mudah ke perguruan tinggi luar negeri. Tak hanya soal kualitas, sekolah internasional kini menjadi simbol status baru bagi kelas menengah-atas (Susanti, 2018). Tak sedikit orang tua yang dengan bangga memamerkan keberhasilan anaknya diterima di sekolah internasional seolah menjadi representasi keberhasilan sosial mereka.
Namun, di balik gemerlap kemasan global tersebut, sekolah internasional menyimpan persoalan serius dalam konteks ketimpangan akses dan keadilan pendidikan. Realitasnya, sekolah jenis ini hanya dapat dijangkau oleh segelintir orang dengan modal ekonomi besar (Ball, 2015). Biaya masuk dan tahunan yang mencapai ratusan juta rupiah telah menciptakan pemisahan yang sangat jelas antara mereka yang mampu dan tidak mampu. Pendidikan, yang idealnya menjadi alat pemerataan dan mobilitas sosial, justru berubah menjadi ruang eksklusif yang memperkuat stratifikasi kelas (Bourdieu & Passeron, 1990).
Kondisi ini mengundang kritik, terutama jika kita membaca fenomena ini melalui kacamata sosiolog Prancis Pierre Bourdieu. Dalam kerangka teorinya, pendidikan bukanlah ruang netral, melainkan arena pertarungan modal ekonomi, budaya, sosial, dan simbolik yang digunakan untuk mempertahankan posisi dominan kelas tertentu (Bourdieu & Passeron, 1990). Orang tua yang menyekolahkan anaknya ke sekolah internasional tidak hanya membeli pendidikan, melainkan sekaligus mentransfer modal budaya seperti penguasaan bahasa asing, wawasan global, serta etos kompetitif yang sangat dihargai di dunia kerja elit (Brown & Lauder, 2006). Selain itu, anak-anak ini juga memperoleh modal simbolik dengan gelar “lulusan internasional” yang membawa nilai lebih dalam relasi sosial dan profesional.
Bourdieu juga menyoroti bahwa sistem pendidikan modern seringkali bertindak sebagai mekanisme reproduksi kelas (Bourdieu & Passeron, 1990). Dalam konteks sekolah internasional, reproduksi ini terjadi dalam wujud yang sangat halus. Anak-anak dari kalangan kaya sejak kecil telah dididik dalam lingkungan, nilai, dan standar hidup yang berbeda dari mayoritas masyarakat. Mereka tumbuh dengan habitus cosmopolitan — cara berpikir, berbicara, dan berperilaku yang sesuai dengan dunia global (Ball, 2015). Sebaliknya, anak-anak dari kelas menengah ke bawah kian tersingkir dari akses terhadap modal-modal tersebut, terjebak dalam sistem yang hanya mereproduksi posisi sosial semula.
Masalah lain muncul ketika sekolah internasional diposisikan seolah menjadi satu-satunya “jalur unggul” menuju masa depan. Diskursus ini diperkuat oleh kampanye media dan pemasaran institusi pendidikan yang seolah mengatakan “semakin mahal sekolah, semakin cerah masa depan” (Rizvi & Lingard, 2010). Akibatnya, publik terjebak pada logika pasar, bukan pada nilai pendidikan itu sendiri. Ketika pendidikan direduksi menjadi komoditas mewah, maka nilai-nilai kesetaraan dan emansipasi pun tersingkir dari ruang kelas (Brown & Lauder, 2006).
Kita tentu tidak bisa serta-merta menyalahkan keberadaan sekolah internasional. Dalam dunia yang makin terhubung, pendidikan bertaraf global memang diperlukan (Rizvi & Lingard, 2010). Namun, yang patut dipersoalkan adalah bagaimana sekolah ini telah memperkuat eksklusivitas dan menjauh dari semangat pemerataan (UNESCO, 2020). Negara perlu hadir, tidak hanya sebagai regulator, tetapi sebagai penggerak distribusi akses dan peningkatan mutu pendidikan publik. Jika tidak, maka kita sedang menyaksikan bagaimana masa depan bangsa diarahkan oleh ketimpangan sejak dalam ruang kelas.
Pendidikan seharusnya menjadi alat pembebasan, bukan pemisahan. Ia harus menjadi jembatan menuju kesetaraan, bukan dinding yang membatasi berdasarkan kapital (UNESCO, 2020). Sudah waktunya kita bertanya kembali, pendidikan global untuk siapa? Dan siapa yang ditinggalkan?
Tentang Penulis:
Fitri Sarasati adalah dosen tetap di Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Satya Negara Indonesia. Ia memiliki ketertarikan dalam bidang Media Studies, Komunikasi Digital, dan Ekonomi Politik Media. Saat ini sedang menempuh studi doktoral di Universitas Sahid Jakarta.
Editor: Dedi Widiyanto