
WARTAPERWIRA.COM – Namanya Yeldan Andhika Razza Ahmad, atau akrab disapa Razza. Di usia 17 tahun, ketika banyak remaja memilih bersantai dengan ponsel di tangan, ia justru menantang dirinya untuk melihat dunia dari tempat yang lebih tinggi — puncak Gunung Sumbing, melalui jalur Lamuk, Kalikajar, Wonosobo.
Berdua saja dengan sahabatnya, Razza berangkat dari rumahnya di Jalan Mintaraga, Purbalingga, sejak pagi. Mereka melintasi rute berliku Purbalingga – Banjarnegara – Wonosobo, hingga akhirnya tiba di Basecamp Gapuro Rahayu, Desa Lamuk — titik awal jalur pendakian Gajah Mungkur, sisi timur Gunung Sumbing.
Tanpa pemandu, tanpa rombongan. Hanya dua anak muda dan tekad besar yang menyala.
Menyusuri Jalur Gajah Mungkur
Usai beristirahat sejenak di basecamp, mereka melanjutkan perjalanan menggunakan ojek lokal hingga area Plerenan Siwatu. Di sinilah kaki mereka mulai benar-benar melangkah, menapaki jalur pendakian pertama.
Pos 1 – Sengaran menyambut dengan jalur menanjak ringan dan pepohonan rimbun. Meski baru memulai, napas sudah mulai terasa berat.
Menuju Pos 2 – Kazu Sawa, langkah makin mantap. Area ini lebih terbuka, dan cocok untuk istirahat sejenak sambil memandang langit yang mulai berubah warna.
Saat langit mulai meredup, mereka tiba di Camp Watu Talang — area luas di antara Pos 2 dan Pos 3. Di sinilah mereka bertemu dua pendaki lain dari Pasuruan, Jawa Timur. Pertemuan yang spontan ini menjadi titik balik dalam suasana perjalanan mereka.
“Ketemu mas-mas dari Pasuruan bikin perjalanan lebih ringan. Mereka cerita pengalaman naik Semeru, jadi kami belajar banyak juga,” ucap Razza.
Empat pendaki muda itu pun melanjutkan perjalanan bersama.
Pos 3 – Gajah Mungkur dilewati di tengah malam, jalur mulai berbatu dan sunyi, tapi penuh tawa kecil dan semangat.
Mereka lanjut menuju Camp Kandang Kidang, yang berada di antara Pos 3 dan Pos 4. Lokasinya terbuka dan cukup luas untuk bermalam, bahkan ada sumber air alami di dekat area ini. Di sinilah mereka memutuskan untuk istirahat sejenak sebelum summit.
Menyongsong Matahari dari Puncak Gunung Sumbing (Puncak Rajawali)
Sekitar pukul 3.30 dini hari, mereka melanjutkan perjalanan terakhir menuju puncak. Jalur semakin menanjak tajam di Pos 4 – Gelar Wangi. Dengan senter dan pegangan tali bantu, mereka melewati jalur terjal berbatu hingga tiba di titik tertinggi: Puncak Rajawali, puncak sejati Gunung Sumbing, sekitar pukul 04.00 WIB.
Langit masih gelap. Tapi bintang-bintang tampak jelas, mengawali detik-detik munculnya sunrise yang mereka kejar sejak dari rumah.
Dan benar saja, perlahan cahaya jingga mulai menyelimuti cakrawala. Gunung Sindoro berdiri gagah di seberang, dan lautan awan menghampar bagai karpet langit.
“Saya nggak nyangka. Hanya berdua dari rumah, tapi bisa sampai sini, bertemu teman baru, dan lihat sunrise seindah ini,” kata Razza lirih sambil tersenyum.
Bukan Sekadar Puncak
Perjalanan dari rumah hingga puncak memakan waktu hampir 16 jam. Tapi bagi Razza, angka itu tak berarti banyak dibanding pelajaran yang ia bawa pulang: tentang keberanian, kemandirian, pertemanan, dan cinta pada alam.
Gunung Sumbing, dengan tinggi 3.371 meter di atas permukaan laut, bukan tempat gagah-gagahan. Tapi ia menjadi guru diam — tempat belajar bagi siapa saja yang datang dengan hati yang jujur.
Catatan Redaksi
Pendakian lewat jalur Gajah Mungkur via Lamuk memang tidak seramai jalur lain, tapi menyajikan panorama yang luar biasa. Bagi pendaki muda, selalu utamakan keselamatan: informasikan rencana ke keluarga dan basecamp, bawa perlengkapan yang cukup, dan siapkan mental serta fisik.
Gunung adalah tempat belajar, bukan tempat uji nyali. Dan seperti Razza, siapa pun bisa menemukan versi terbaik dirinya — saat berani mengambil langkah pertama.
Redaksi Warta Perwira