
WARTAPERWIRA.COM, Sabtu (4/10) – Apapun bentuknya mau disebut Komite Reformasi Polri bentukan Presiden Prabowo Subianto maupun Tim Reformasi dan Transformasi Kepolisian yang dibentuk Kapolri, substansi yang terpenting adalah bagaimana reformasi itu benar-benar berjalan. Reformasi Polri harus inklusif, menyentuh semua lini dari tingkat atas hingga ke bawah, serta menggali akar persoalan yang bersifat struktural maupun kultural.
Reformasi Polri Harus Menjawab Tuntutan Publik, Bukan Sekadar Formalitas
Dengan anggaran Polri yang menjadi terbesar kedua setelah Kementerian Pertahanan, publik menuntut perubahan yang nyata. Jika pembentukan tim-tim reformasi ini tidak berfungsi secara efektif, justru akan menambah beban anggaran tanpa menghasilkan pembenahan yang berarti. Reformasi kepolisian tidak boleh berhenti pada tataran administratif, tetapi juga harus menyentuh moralitas, integritas, dan budaya organisasi.
Arogansi dan Tebang Pilih, Ancaman Nyata bagi Citra Kepolisian
Fakta di lapangan menunjukkan masih banyak kasus hukum yang berhenti di tingkat kepolisian tanpa kejelasan. Lambannya penanganan perkara termasuk tebang pilih kasus, serta pelanggaran hukum yang jelas-jelas terlihat namun sering tidak mendapat penindakan tegas, menambah daftar panjang persoalan. Berbagai bisnis ilegal pun kerap dibackingi oleh oknum aparat. Tidak jarang pula muncul sikap arogan sebagian anggota kepolisian dalam berinteraksi dengan masyarakat, sikap yang seharusnya tidak pantas dimiliki oleh aparat pelindung rakyat. Arogansi semacam ini hanya akan semakin menjauhkan Polri dari kepercayaan publik. Situasi ini bukan sekadar mencoreng citra Polri, tetapi juga merusak sendi utama negara hukum.
Membangun Polri yang Transparan, Akuntabel, dan Terbuka terhadap Kritik
Karena itu, reformasi Polri harus diarahkan pada empat pilar utama: transparansi, akuntabilitas, pengawasan publik, dan penegakan hukum tanpa pandang bulu. Reformasi bukan hanya memperbaiki sistem, tetapi juga membangun budaya baru yang menolak kompromi terhadap pelanggaran etika dan hukum di internal kepolisian.
Harapan publik sederhana: Polri yang tidak anti kritik, profesional, bersih, dan benar-benar menjadi pelindung, pengayom, serta pelayan masyarakat. Jika reformasi ini kembali gagal, maka bukan hanya citra Polri yang runtuh, tetapi juga kepercayaan rakyat terhadap penegakan hukum di negeri ini.
(Redaksi Warta Perwira)