
WARTAPERWIRA.COM, Selasa (2/12) – Pemerintah memiliki dua instrumen utama dalam proses pengadaan pekerjaan konstruksi: LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik) dan e-Katalog. Keduanya sah menurut regulasi, namun efektivitas dan tingkat transparansinya sering menjadi sorotan, terutama ketika pekerjaan yang sama dapat menghasilkan efisiensi anggaran yang berbeda jauh.
LPSE: Anggaran Lebih Efisien, Transparan, dan Kompetitif
LPSE adalah mekanisme yang memungkinkan seluruh kontraktor bersaing secara langsung. Prosesnya terbuka: siapa pun dapat melihat peserta, nilai penawaran, hingga hasil akhir.
Satu paket pekerjaan bisa diikuti 50 peserta. Jika terdapat 37 paket pekerjaan, potensi peserta bisa mencapai 1.850 perusahaan, sebuah persaingan sehat yang memaksa harga turun signifikan, sering kali bisa di bawah 80% dari HPS. Inilah esensi transparansi: ruang permainan sempit, ruang pengondisian makin kecil.
E-Katalog: Mini Kompetisi, Transparansi Terbatas, dan Kurang Efisien dari segi Anggaran
Berbeda dengan LPSE, meskipun lebih instan E-Katalog hanya dapat diikuti penyedia yang sudah terdaftar. Prosesnya pun tidak sepenuhnya dapat dilihat publik hanya penyedia yang memiliki akses e-katalog yang bisa melihat detail kompetisi. Persaingan pun jauh lebih terbatas. Dalam banyak kasus, mini kompetisi justru membuka celah pengondisian pemenang karena jumlah peserta sangat sedikit. Selain itu, adanya standarisasi harga membuat penurunan penawaran relatif kecil dan tidak seefisien LPSE.
Ironi Mengapa Pemkab Purbalingga Memilih E-Katalog?
Jika paket pekerjaan yang sama jauh lebih efisien melalui LPSE, mengapa Pemerintah Kabupaten Purbalingga justru memilih skema E-Katalog?
Apabila pemenang tender melalui LPSE berani menurunkan penawaran hingga rata-rata 80 persen dari HPS, maka potensi efisiensi anggaran menjadi sangat besar. Sebaliknya, pada mekanisme e-Katalog, penawaran umumnya hanya turun hingga sekitar 95 persen dari HPS. Dengan ruang penurunan yang jauh lebih kecil, potensi efisiensi anggaran otomatis menjadi lebih terbatas.
Publik berhak mempertanyakan alasan Pemerintah Kabupaten Purbalingga memilih E-Katalog untuk pekerjaan konstruksi besar-besaran. Jika LPSE terbukti:
- lebih kompetitif,
- lebih transparan,
- dan jauh lebih efisien,
Jangan sampai keterbatasan waktu anggaran dan kebutuhan merealisasikan program unggulan Alus Dalane menjadi pertimbangan pemilihan e-Katalog tanpa mempertimbangkan alternatif lain yang lebih efisien.
BPJB dan PPKom Dijabat Oleh Satu Orang
Masalah menjadi semakin krusial ketika ditemukan bahwa BPJB (Biro Pengadaan Barang dan Jasa) dan PPKom (Pejabat Pembuat Komitmen) dijabat oleh orang yang sama.
Kondisi seperti ini menciptakan sentralisasi kewenangan dalam proses pengadaan, yang dalam praktiknya:
- mempersempit mekanisme kontrol,
- membuka peluang terjadinya pengaturan dan intervensi,
- dan melemahkan prinsip check and balance dalam pengadaan publik.
Ketika satu orang memegang dua posisi strategis pengatur proses dan penentu komitmen maka risiko pengondisian pemenang semakin tinggi, terutama bila mekanisme yang dipilih adalah E-Katalog yang peserta dan akses informasinya terbatas. Ini adalah alarm serius bagi tata kelola pengadaan.
APH dan APIP Harus Bergerak Sejak Awal
Situasi ini tidak boleh dibiarkan tanpa pengawasan. APH (Aparat Penegak Hukum) dan APIP (Aparat Pengawasan Intern Pemerintah) perlu turun tangan sejak awal untuk memastikan:
- tidak ada penyimpangan,
- tidak ada permainan harga,
- dan tidak ada kepentingan yang mengalahkan efisiensi anggaran negara.
Audit dini menjadi penting agar sisa paket pekerjaan dapat diselamatkan dan uang publik tidak terhambur.
Uang Publik Bukan Ruang Eksperimen
Pengadaan barang dan jasa adalah pintu pertama integritas pemerintahan. Pemerintah daerah wajib memilih metode yang paling efisien, paling transparan, dan paling memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat. Dan dalam konteks ini, LPSE masih menjadi mekanisme yang menawarkan persaingan sehat dan efisiensi anggaran paling optimal.
Redaksi: WartaPerwira