
Foto: Liputan Khusus Konflik Perang Iran - Israel. Warta Perwira menemui salah satu dosen program studi Hubungan Internasional. A. Kurniawan Ulung, S.Sos, M.A di kampusnya Universitas Satya Negara Indonesia, Jakarta Rabu, 18/6.2025.
JAKARTA, WARTAPERWIRA.COM – Memasuki hari ke 6 perang antara Iran – Israel, semenjak dimulainya serangan oleh Israel ke Iran tanggal 13 Juni 2025, tidak menunjukan adanya tanda tanda akan berhenti ataupun gencatan senjata. Jumlah korban dari kedua belah pihak terus berjatuhan. Menurut laporan awal, sekitar 80 orang tewas dan lebih dari 320 orang terluka di Iran akibat serangan udara Israel. Di antara korban adalah sembilan ilmuwan nuklir senior yang dianggap vital dalam program nuklir Iran. Di Israel, sedikitnya tiga orang tewas dan lebih dari 200 orang luka-luka akibat serangan rudal Iran.(Tempo 16/6/2025).
Tentunya hal ini mengundang keprihatinan dunia internasional, korban sipil tidak berdosa akan berjatuhan lebih banyak lagi dan secara kemanusiaan perang sangat bertentangan dengan kekerasan, pembunuhan dan penderitaan umat manusia. Pihak Amerika dan sekutunya terkesan diam. Tempo (16/6/2025) mereka berdalih untuk mewujudkan pembicaraan tidak mungkin dilakukan, mengingat kondisi yang bergejolak saat ini.
Sedangkan pihak Inggris masih mengirimkan pesawat-pesawat tempurnya ke Israel sebagai upaya penyelamatan instalasi militer barat di timur tengah. Seruan internasional meminta pada kedua belah pihak yang sedang berperang Iran – Israel untuk dihentikan namun peperangan masih terus berlangsung dan berkecamuk.
Dibalik peperangan yang masih berlangsung, Warta Perwira mencoba menggali dari sudut pandang diplomasi geopolitik. Warta Perwira menemui salah satu dosen program studi Hubungan Internasional. A. Kurniawan Ulung, S.Sos, M.A (lebih dikenal dipanggil mas Alez dilingkungan mahasiswanya) di kampusnya Universitas Satya Negara Indonesia, Jakarta Rabu, 18/6.2025. Selain sebagai akademisi mas Alez adalah mantan jurnalis The Asahi Shimbun tentang Asia.
Faktor pendorong sebagai pemicu konflik hubungan bilateral Iran – Israel.
Menurut Kurniawan, konflik bilateral dipicu oleh kombinasi faktor ideologi, keamanan, dan perebutan pengaruh regional. “Penolakan Israel terhadap program nuklir Iran, perbedaan ideologi politik dan agama, serta konflik terkait Palestina turut menjadi pemicu utama. Israel menilai Iran tengah memperluas pengaruhnya di Timur Tengah dengan menentang dominasi AS dan Israel,” jelasnya.
Hubungan diplomasi Iran – Israel dengan negara-negara Arab lainnya secara unilateral di Kawasan Timur Tengah.
Kurniawan juga menyampaikan bahwa dinamika hubungan kedua negara dengan negara-negara Arab berlangsung secara unilateral. Iran, katanya, cenderung bersekutu dengan negara seperti Lebanon, sedangkan hubungannya dengan Arab Saudi dan UEA cenderung tidak harmonis. Sementara Israel telah menormalisasi hubungan dengan beberapa negara Teluk seperti UEA, namun tetap bermusuhan dengan negara lain seperti Lebanon.
Efektivitas Forum PBB sebagai Ruang Diplomasi
Terkait potensi diplomasi melalui forum internasional, Kurniawan menyampaikan pandangannya bahwa efektivitas forum seperti Sidang Umum PBB dalam meredakan konflik Iran–Israel masih terbatas.
“Secara prinsip, ruang itu tersedia. Tapi dalam praktiknya, PBB seringkali hanya menjadi panggung retorika politik. Iran dan Israel sama-sama menggunakan forum ini untuk saling menyalahkan, bukan berdialog,” ujarnya. Ia juga menambahkan bahwa hambatan ideologis serta ketiadaan hubungan diplomatik formal antara kedua negara membuat upaya mediasi formal sangat sulit dilakukan.
Dalam konteks hubungan geopolitik dengan adanya perang Iran-Israel, pengaruhnya terhadap negara-negara ASEAN khususnya negara Indonesia ke depan.
Konflik ini, menurut Kurniawan, juga berpotensi memberikan dampak tidak langsung terhadap kawasan Asia Tenggara. “Bagi Indonesia dan negara-negara ASEAN, dampaknya lebih terasa dalam sektor ekonomi, terutama disrupsi perdagangan global, logistik, dan energi. Indonesia yang masih bergantung pada impor minyak dari Timur Tengah perlu mencermati situasi ini secara serius,” katanya.
Meski demikian, ia berharap Indonesia dapat tetap memegang prinsip bebas aktif dalam kebijakan luar negerinya. “Indonesia memiliki posisi yang memungkinkan untuk berkontribusi dalam upaya perdamaian internasional,” pungkasnya.
(Redaksi Warta Perwira)