
FOTO : Ilustrasi Employee Turnover dalam organisasi atau perusahaan
WARTAPERWIRA.COM- Di balik gemerlap layar media online yang setiap hari menyajikan berita dengan kecepatan tinggi, ada kenyataan pahit yang jarang diketahui masyarakat yaitu wartawan sebagai ujung tombak pemberitaan justru menjadi korban sistem kerja yang timpang. Fenomena turnover yang tinggi di kalangan wartawan bukan semata-mata karena alasan pribadi tetapi lebih kepada sistem yang tidak manusiawi dan seringkali eksploitatif Ironisnya lagi, ada media yang tidak hanya menggaji wartawannya tetapi juga meminta mereka mensubsidi operasional perusahaan
Bagaimana bisa, dalam profesi yang seharusnya menjunjung tinggi etika dan profesionalisme, seorang wartawan harus merogoh kocek pribadi untuk biaya penutupan liputan, transportasi hingga kontribusi terhadap biaya promosi media? Dalam banyak kasus, para wartawan ini bahkan tidak memiliki kontrak kerja yang jelas, apalagi jaminan sosial dan perlindungan hukum saat meliput di lapangan. Mereka bekerja dalam tekanan tinggi, dibebani target pemberitaan dan klik, namun tidak mendapat perlakuan layak sebagai pekerja profesional
Hal ini menunjukkan adanya kekeliruan struktural yang serius dalam dunia media, terutama media online yang marak tumbuh namun tidak dibarengi dengan tata kelola manajemen yang sehat. Model bisnis yang bergantung pada eksploitasi tenaga kerja murah atau bahkan gratis adalah bentuk kegagalan moral dan profesionalisme. Jika media sebagai institusi kontrol sosial saja tidak adil kepada pekerjanya, bagaimana ia bisa dipercaya untuk mengontrol kekuasaan secara objektif ?
Dalam situasi ini, idealisme jurnalisme perlahan mati. Wartawan tidak bisa lagi bersuara bebas jika hidupnya saja tercekik oleh sistem yang tidak mendukung. Mereka akan terpaksa menurunkan standar liputan, mencari jalan pintas, bahkan menggadaikan etika hanya demi bertahan hidup. Lalu masyarakat mendapat apa? Berita yang meremehkan, tidak terverifikasi atau bahkan penuh sensasi demi memenuhi algoritma dan target klik
Baca Juga:
Sudah waktunya publik dan insan pers sendiri mulai bersuara. Dunia jurnalistik tidak bisa dibiarkan berjalan dengan pola seperti ini. Perlu peraturan tegas dan sistem akuntabilitas di media internal. Organisasi profesi dan dewan pers harus lebih aktif dalam mengawasi praktik-praktik tidak sehat ini. Wartawan bukan relawan bukan pula pekerja bayangan. Mereka adalah profesional yang punya hak untuk hidup layak dari profesinya
Jika industri media ingin tetap hidup maka dimulai dari memanusiakan wartawan (Memanusiakan Manusia). Jangan sampai institusi yang dianggap berdiri di atas kebenaran dan keadilan menjadi ketidakadilan yang paling nyata. Dan selama wartawan harus membayar untuk bekerja maka media itu tidak pantas disebut sebagai institusi pers melainkan sekedar bisnis yang menjual berita tanpa hati nurani. Pasal 10 UU Pers No. 40/1999 mensyaratkan media perusahaan memberikan kesejahteraan pada wartawannya, termasuk gaji layak. Dewan Pers juga menetapkan dalam Peraturan Standar Pers (Perpres) bahwa media wajib membayar gaji minimal 13 kali setahun serta memberi jaminan sosial.
( Redaksi Warta Perwira )