26.10.2025
Ketika Kesabaran Rakyat Mencapai Batasnya
Foto: Ilustrasi ketika kesabaran rakyat mencapai batasnya dengan sederet permasalahan yang tak kunjung diselesaikan.(Freepik.com)

WARTAPERWIRA.COM 31 Agustus 2025 – Ketika kesabaran rakyat mencapai batasnya, tragedi yang menimpa seorang pengendara ojek online yang tewas terlindas kendaraan taktis Brimob bukan hanya peristiwa memilukan ia menjadi simbol nyata dari betapa rentannya nasib masyarakat kecil di tengah ketegangan sosial yang kian memuncak. Tragedi ini mengguncang hati publik, mempertebal rasa kecewa yang selama ini terus menumpuk terhadap pemerintah dan para wakil rakyat.

Kejadian hari ini bukan berdiri sendiri. Ini adalah efek domino dari sederet permasalahan yang tak kunjung diselesaikan, justru terus dibiarkan tumbuh: kenaikan pajak di saat ekonomi rakyat terpuruk, fasilitas pejabat yang terus ditambah, hingga gaya hidup mewah para elit yang seakan tak tersentuh realita rakyat jelata.

Pernyataan-pernyataan buruk dari sejumlah anggota DPR, yang terkesan meremehkan keresahan masyarakat, hanya memperkeruh suasana. Ketika rakyat mengadu, para wakilnya justru mencibir. Ketika rakyat meminta penjelasan, mereka malah menunjukkan arogansi. Ini bukan sekadar komunikasi yang buruk, tapi bukti lemahnya empati dari mereka yang seharusnya menjadi teladan.

Tak pelak, kemarahan publik pun mencapai titik didih. Aksi-aksi protes yang awalnya damai berubah menjadi ledakan emosional. Penjarahan rumah-rumah mewah milik anggota DPR, perusakan mobil-mobil mewah yang dianggap simbol ketimpangan, mencerminkan betapa jauhnya jarak antara rakyat dan wakilnya. Ini adalah perlawanan terhadap simbol-simbol kekayaan yang dinilai lahir dari penghasilan tak wajar, gaya hidup berlebihan, dan bayang-bayang skandal korupsi yang terus menghantui lembaga legislatif.

Rakyat kini mulai mempertanyakan: apakah benar para wakil rakyat masih pantas disebut sebagai representasi mereka? Apakah gaji, tunjangan, dan fasilitas itu mencerminkan kerja nyata, atau hanya hasil dari sistem yang tidak transparan dan tak berpihak pada keadilan sosial?

Krisis ini bukan hanya tentang ekonomi, tapi tentang kepercayaan yang runtuh. Saat rakyat merasa tak lagi diwakili, maka demokrasi kehilangan rohnya. Ketika empati tak lagi jadi bagian dari kebijakan publik, maka hukum dan tatanan sosial pun perlahan kehilangan legitimasi.

Negara tidak boleh tinggal diam. Pemerintah dan DPR harus segera membuka mata dan telinga. Jangan hanya sibuk membela citra, tapi abaikan suara rakyat. Jangan hanya berbicara soal stabilitas, tapi lupakan keadilan. Perbaikan harus dimulai sekarang, sebelum gelombang yang lebih besar datang  bukan hanya menghantam rumah-rumah mewah, tapi seluruh fondasi kepercayaan bangsa ini.

( Redaksi Warta Perwira )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *