06.08.2025
PPATK

Foto : Gedung PPATK (Dok : ppatk.go.id)

WARTAPERWIRA.COM-“Saya tidak habis pikir, rekening saldo tidak seberapa kalau tidak ada aktifitas debit kredit selama 3 – 12 bulan diblokir oleh bank, bingung juga saya.” Demikian salah satu dialog kecil masyarakat terkait kebijakan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (ppatk )yang memblokir rekening-rekening dormant, selama tidak ada transaksi 3-12 bulan. Sebelumnya diberitakan di beberapa media, mengenai kebijakan PPATK terkait dengan pemblokiran rekening pasif (dormant) salah satunya dalam rangka menjaga pencucian uang oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, dalam tindak pidana pencucian uang.

Rekening itu sendiri adalah hak kepemilikan seseorang berupa akun di suatu lembaga bank sebagai tempat  transaksi keuangan, baik dengan pihak bank maupun dengan pihak lainnya di luar bank. Rekening juga memudahkan setiap orang untuk melakukan pembelian, pembayaran angsuran, uang kuliah maupun pengiriman dan penerimaan uang melalui transfer.

Namun seiring banyaknya proses transaksi yang terjadi, banyak hal-hal yang tidak lazim dalam jumlah nominal transaksi, terutama dalam jumlah tertentu baik dalam pengiriman maupun penerimaan uang antar bank melalui rekening nasabah. Transaksi ini menjadi pantauan PPATK, terutama adanya pola tidak wajar, tujuan transaksi tidak jelas, dilakukan berulang dalam jumlah besar secara cepat, identitas pemilik tidak konsisten. Terindikasi adanya pencucian uang.

UU no 8 tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Pasal 44 ayat (1) PPATK dapat menghentikan sementara transaksi keuangan tertentu selama paling lama 20 hari kerja, jika ditemukan dugaan transaksi mencurigakan yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang tentang Pasal 44 ayat (2) Setelah 20 hari kerja, penghentian transaksi hanya dapat diperpanjang atas perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim.

Hal diatas menegaskan  pada kita bahwa, PPATK atas nama Undang-Undang no 8 tahun 2020, mempunyai kewenangan untuk melakukan penghentian sementara atas rekening-rekening patut diduga melakukan tindak pidana pencucian uang atas rekening-rekening dormant.

Persoalannya bagi masyarakat kecil, yang besaran jumlah saldonya dibawah Rp 50juta ataupun lebih kecil dari jumlah tersebut tentunya sangat memberatkan dan merepotkan, terutama masyarakat yang tinggal pedesaan dimana bank-bank belum merata berada diwilayahnya. Ditambah pemahaman dan kemampuan masyarakat desa yang masih terbatas dalam transaksinya, hanya sebatas penyimpanan dan penarikan secara manual, langsung ke bank menemui bagian teller. Mungkinkah hal ini terlewat oleh PPATK?

Pasifnya transaksi rekening nasabah bank terutama masyarakat pedesaan, belum tentu suatu kesengajaan bisa jadi salah satunya adalah untuk disimpan sebagai simpanan tabungan masa depan anak-anaknya bagi masyarakat, terutama yang penghasilannya pas-pas-an sehinga jarak untuk menyimpan ataupun menarik uang bisa jadi terjeda antara 2 atau 3 bulan sekali.

Minim Informasi blokir dari PPATK

Pemahaman masyarakat kota tentunya berbeda dengan masyarakat desa. Informasi apapun yang disampaikan ataupun belum jelas, rata-rata masyarakat kota cepat dalam menerima dan memahami suatu informasi. Karena didukung oleh tersedianya ragam informasi yang bersumber dari ketersediaan infrastruktur teknologi komunikasi digital yang ada dan pengetahuan mereka, terkait juga dengan hal-hal yang menjadi dasar materi dari suatu informasi yang disampaikan. Termasuk perihal kebijakan PPATK yang memblokir rekening-rekening nasabah bank.

Namun untuk kebijakan pemblokiran yang dilakukan oleh PPATK melalui bank-bank yang menjadi banknya para nasabah. Semuanya sepakat  (masyarakat kota dan desa) bahwa, salah satu hal utama adalah kurangnya pengenalan informasi blokir berupa sosialisasi yang disampaikan oleh PPATK, kalaupun disampaikan tidak melalui media-media konvensional. PPATK menyampaikan kebijakan blokir hanya melalui media sosial.

Informasi yang disampaikan pada masyarakat, tidak hanya melalui media, namun lebih dari itu diperlukan keberadaan para opinion leader (tokoh masyarakat, pemuda ) yang sudah dikenal diwilayahnya masing-masing  yang mampu menjelaskan secara jernih dan mudah dipahami pada masyarakat desa, mengenai suatu informasi. Sehingga tidak menimbulkan kebingungan informasi dalam hal blokir rekening.

(Tempo 2/7/2025) PPATK mencatat jumlah rekening dormant di berbagai lembaga perbankan sangat banyak, bahkan lebih dari 140 ribu di antaranya telah berusia lebih dari 10 tahun. Rekening-rekening tersebut menyimpan dana lebih dari Rp 428 miliar.

Prioritas Kebijakan PPATK

Seharusnya dengan dukungan sistem yang ada, PPATK mampu memilah dan membedakan mana-mana rekening yang patut mencurigakan untuk di blokir. Hal ini dapat dilihat dari pergerakan transaksi dengan nominal minimal dan atau setara dengan Rp500 juta dalam satu kali transaksi atau beberapa transaksi dalam 1 hari wajib dilaporkan ke PPATK, dalam rekening dormant. Apabila pemblokiran yang dilakukan oleh PPATK melalui bank lebih dari 20 hari, tentunya kebijakan yang melampau kepatutan Undang-undang no 8 tahun 2010 (TPPU) itu sendiri.

Pemblokiran yang dilakukan tanpa kualifikasi yang jelas, hanya akan menjadi kontraproduktif bagi PPATK di mata masyarakat, terutama masyarakat di pedesaan. Terkesan kebijakan yang dibuat untuk memperlihatkan pada masyarakat bahwa PPATK bekerja.

Sebagai salah satu independen dibawah presiden UU no 8 tahun 2020 pasal 39 ayat 1, seharusnya dalam kebijakan blokir rekening koordinasi dengan lintas lembaga lainnya (kepolisian,KPK, kejaksaan, OJK) harus terlihat, mengingat PPATK bukanlah sebagai lembaga penegak hukum melainkan sebagai lembaga intelejen keuangan.

(Redaksi Warta Perwira)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *