26.10.2025
Gagalnya Empati Pejabat dan Ledakan Kemarahan Publik

Ilustrasi Kurangnya Empati Pejabat memicu ledakan kemarahan Publik

WARTA PERWIRA.COM-Gelombang demonstrasi menuntut DPR yang merebak belakangan ini bukan sekadar soal penolakan kebijakan. Di balik lautan massa, spanduk, dan teriakan di jalanan, tersimpan luka kolektif akibat gagalnya komunikasi pejabat. Bukan hanya regulasi yang dipersoalkan, tetapi cara kekuasaan berinteraksi dengan rakyat: penuh arogansi, minim Empati, dan kehilangan sensitivitas simbolik.
Komunikasi yang Gagal Sejak Awal
Dalam kerangka teori komunikasi krisis (Coombs, 2007), respons pertama pejabat pada saat kritik merebak menentukan arah persepsi publik. Alih-alih menenangkan, banyak pejabat justru merespons dengan kalimat defensif, meremehkan keresahan, atau bahkan menyalahkan rakyat. Komunikasi yang semestinya berfungsi sebagai buffer malah berubah menjadi trigger. Hasilnya, kepercayaan publik runtuh lebih cepat daripada isi kebijakan itu sendiri.
Situasi ini diperburuk oleh fenomena spiral of silence (Noelle-Neumann). Pada awalnya, masyarakat yang berbeda pandangan mungkin memilih diam karena takut dimarjinalkan. Namun, ketika pejabat menutup ruang kritik dengan bahasa arogansi, diam tidak lagi menjadi pilihan. Rakyat justru membalik spiral itu menjadi ekspresi kolektif di jalanan. Demonstrasi adalah bentuk keluar dari kebisuan, mengubah diam menjadi suara, dan suara menjadi tekanan.
Simbol yang Melukai
Menurut perspektif interaksionisme simbolik (Mead), komunikasi tidak pernah netral. Setiap kata, gestur, dan tindakan pejabat mengandung makna simbolik yang ditafsirkan publik. Di tengah kesulitan ekonomi, pamer kekayaan, berjoget di panggung, atau tertawa di pesta politik bukanlah tindakan ringan—ia adalah simbol pengkhianatan moral. Dalam kacamata masyarakat, simbol itu menyampaikan pesan: pejabat hidup di dunia lain, terputus dari realitas rakyat.
Di sinilah media massa online dan media sosial memainkan peran. Melalui teori framing (Entman), setiap pernyataan pejabat dibingkai dengan sorotan kritis, diperkuat oleh tajuk provokatif, dan disebarkan secara viral. Dampaknya bukan hanya memperbesar kemarahan, tetapi juga menguatkan kesadaran kolektif bahwa DPR bukan sekadar salah dalam kebijakan, melainkan gagal dalam komunikasi.
Pentingnya Kata Maaf
Di tengah situasi ini, jalan keluar paling sederhana sebenarnya tersedia: kata maaf. Sebuah pengakuan kesalahan yang tulus sejak awal dapat meredam eskalasi. Namun pola yang berulang adalah penundaan: pejabat hanya meminta maaf setelah kerusuhan, setelah demonstrasi membesar, setelah legitimasi runtuh. Akibatnya, maaf kehilangan makna. Ia dibaca bukan sebagai bentuk empati, melainkan sekadar strategi politik untuk menyelamatkan citra.
Sayangnya, kerusakan sudah terjadi. Kemarahan berubah menjadi aksi destruktif. Meski demikian, harus ditegaskan: penjarahan, kekerasan, dan tindakan anarkis tetap tidak dapat dibenarkan. Kekerasan justru mengaburkan substansi perjuangan rakyat. Namun, refleksi kritis tetap penting: tidakkah tindakan anarkis ini bisa dicegah jika komunikasi pejabat sejak awal lebih terbuka, empatik, dan rendah hati?
Krisis Legitimasi, Bukan Sekadar Krisis Kebijakan
Dari perspektif komunikasi politik, krisis yang kita saksikan hari ini adalah krisis legitimasi. Legitimasi bukan hanya ditentukan oleh isi kebijakan, tetapi juga oleh bagaimana pejabat menyampaikannya. Ketika bahasa yang dipilih adalah bahasa arogansi, simbol yang ditampilkan adalah simbol kesenjangan, dan maaf selalu datang terlambat, maka yang runtuh bukan hanya kredibilitas kebijakan, melainkan kredibilitas negara itu sendiri.
Demonstrasi hari ini adalah cermin. Ia merefleksikan kegagalan DPR dan pejabat publik untuk memahami bahwa komunikasi bukan sekadar transfer informasi, tetapi kontrak sosial yang melibatkan kepercayaan. Dan politik pada dasarnya adalah seni merawat kepercayaan.
Maka, jika para pejabat benar-benar ingin meredakan kemarahan, jawabannya bukan pada jargon, bukan pada seremonial, apalagi pada pamer kekuasaan. Jawabannya ada pada komunikasi yang sederhana: rendah hati, empatik, berani mengakui salah, dan tidak menunda kata yang paling ditunggu rakyat maaf.

Editor : Agus Budiana

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *