03.08.2025
Transfer Data Pribadi Bukan Harga Tawar dalam Diplomasi Dagang
Foto: Instagram @prabowo

WARTAPERWIRA.COM – Pernyataan Presiden terpilih Prabowo Subianto soal negosiasi transfer data pribadi Indonesia ke Amerika Serikat kembali mengguncang ruang diskusi publik. Dalam konteks diplomasi dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat, yang sebagian didorong oleh pengaruh Donald Trump, muncul kekhawatiran bahwa data pribadi rakyat Indonesia bisa menjadi bagian dari paket kesepakatan.

Jika Transfer Data Pribadi itu Benar, maka Indonesia sedang bermain-main dengan Api.

Data pribadi adalah identitas digital rakyat. Di era teknologi, nilai data melampaui komoditas biasa. Ia bisa digunakan untuk mengendalikan opini, memetakan kebiasaan konsumen, bahkan menjadi senjata dalam perang siber. Negara tidak boleh menjadikan data pribadi sebagai alat tukar diplomasi apalagi hanya untuk mengejar penurunan tarif atau memperlancar investasi asing.

Presiden terpilih memang telah menegaskan bahwa negosiasi belum rampung dan pemerintah menyatakan data yang dimaksud bersifat “komersial”. Namun publik berhak skeptis, apalagi jika proses berlangsung tanpa transparansi. Ketika keterbukaan tak diutamakan, keraguan masyarakat tak bisa disalahkan.

Kita harus ingat bahwa Indonesia sudah memiliki UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi, yang mengatur bahwa:

“Transfer data pribadi ke luar negeri hanya boleh dilakukan kepada negara yang memiliki standar perlindungan setara atau lebih tinggi dari Indonesia.”

Fakta bahwa Amerika Serikat belum memiliki regulasi perlindungan data setara GDPR Eropa seharusnya menjadi pertimbangan utama, bukan malah diabaikan atas dasar pragmatisme ekonomi.

Lebih dari itu, pertanyaan etis muncul: mengapa data warga harus ditawar untuk kepentingan dagang? Siapa yang memberi mandat untuk itu? Bagaimana jaminan data anak-anak, siswa, pengguna digital, hingga informasi sensitif dari sektor keuangan dan kesehatan tidak akan bocor dan disalahgunakan?

Diplomasi memang membutuhkan fleksibilitas. Tapi fleksibilitas itu tidak boleh mengorbankan kedaulatan digital dan keamanan data nasional.

Editorial ini mengajak pemerintah dan Presiden terpilih untuk:

1. Membuka isi negosiasi kepada publik, terutama bagian yang menyangkut data digital.
2. Menjamin tidak ada data pribadi yang ditransfer tanpa persetujuan dan dasar hukum yang kuat.
3. Melibatkan ahli data, pakar hukum, dan lembaga independen dalam pengawasan implementasi kesepakatan.

Indonesia boleh terbuka terhadap dunia, tetapi tidak untuk menyerahkan kendali atas data rakyatnya. Transfer teknologi dan kerja sama ekonomi penting, tapi jangan sampai kita tergelincir ke dalam bentuk kolonialisme baru: kolonialisme data.

Warta Perwira percaya, masa depan diplomasi Indonesia harus berdaulat secara digital tanpa menjual identitas warganya sebagai harga negosiasi.

(Redaksi Warta Perwira)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *