18.07.2025
Editorial : Ketika Kebijakan Rombel 50 Menuai Polemik

Ruangan kelas sekolah (Sumber : iStock)

WARTAPERWIRA.COMNiat baik yang digagas oleh Dedi Mulyadi Gubernur  Jabar dalam pemerataan pendidikan sekolah di Jabar patut  diapresiasi sebagai bentuk kepedulian pemerintah daerah pada rakyatnya di Jabar, terutama dalam menekan anak putus sekolah. Namun menuai Polemik.

Kebijakan Dedi ini dituangkan dalam regulasi resmi berupa Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Barat Nomor : 463.1/Kep.323-Disdik/2025 tentang Petunjuk Teknis Pencegahan Anak Putus Sekolah Jenjang Pendidikan Menengah di Provinsi Jawa Barat.

Setiap sekolah menengah SMA-SMK negeri  wajib menyediakan kapasitas 50 siswa pada setiap kelasnya. Artinya ada penambahan dari siswa kurang mampu sebanyak 14 siswa dari jumlah standar 36 siswa yang telah berjalan selama ini.

Menurut Dedi total SMA dan SMK negeri yang ada di seluruh daerah di Jawa Barat berjumlah 800 sekolah dengan total ruang kelas sebanyak 8.727 unit. Dari jumlah tersebut, kelas yang diisi 48-50 siswa berjumlah 384 ruangan.(Tempo 7/11/2025).

Masih dalam konteks regulasi, sebenarnya apabila kita merujuk pada peraturan Mendikbud RI no 47 tahun 2023  menetapkan jumlah siswa dalam kelas untuk tingkat SMA dan SMK sebanyak 36 siswa. Tentunya apabila kita lihat posisi kedua regulasi mengenai rombel 50 ini terdapat perbedaan jumlah, antara 36 (versi Menteri) dan 50 (versi Gubernur Jabar). Hal inipun apabila kita lihat secara hierarkie peraturan perundangan peraturan Menteri lebih tinggi dari Keputusan Gubernur.

Polemik tetap diperhatikan dan disikapi

Polemik kebijakan Dedi ini, direspon dengan ragam tanggapan dari berbagai pihak kalangan sekolah swasta yang merasa dirugikan atas kebijakan tersebut, terutama jumlah siswa yang bergabung sebelumnya, sekarang jumlahnya menurun secara signifikan.  Sehingga memunculkan ketimpangan jumlah siswa antara negeri dan swasta, dimana negeri lebih diprioritaskan oleh pemerintah Provinsi Jabar.

Beberapa komentar keberatan dari kalangan sekolah swasta diantaranya Ade ketua Forum Kepala Sekolah Swasta (FKSS) SMK di Jabar, “Terkait Kepgub, BMPS [Badan Musyawarah Perguruan Swasta] minta diperbaiki karena dianggap ugal-ugalan dan berpotensi digugat,” kata Ade, Selasa (8/7) seperti dikutip dari detikJabar. (CNN 9/7/2025).

Hal utama yang menjadi keberatan Ade adalah jumlah siswa yang mendaftar ke sekolah SMA/SMK swasta menurun drastis hanya mencapai 30% dari kuota yang disediakan.

Sedangkan menurut Ketua Forum Kepala Sekolah SMA Swasta (FKSS) Kabupaten Sukabumi, Dadun Abdul Manaf, menyatakan kekhawatirannya bahwa kebijakan ini akan berdampak serius bagi eksistensi sekolah swasta.(Kompas, 10/7/2025)

Hal tersebut tentunya merupakan pukulan berat bagi kalangan pihak sekolah swasta, karena swasta secara tata kelola dilakukan secara mandiri tanpa adanya subsidi dari pemerintah, walaupun ada juga subsidi tidak semua sekolah swasta. Hal ini tentunya harus tetap menjadi perhatian dan sikap Dedi, walaupun dipisahkan oleh label istilah sekolah negeri dan swasta namun pada hakikatnya kedua sekolah tersebut adalah bagian dari rakyatnya Jabar.

Polemik memberi arah pembenahan kedepan secara utuh

Sebagai orang no 1 di Jabar Dedi sudah seyognyalah nantinya meninjau ulang kembali polemik kebijakan  mengenai rombel 50 ini. secara bijak dari sisi plus dan minusnya. Karena kebijakan yang dibuat walaupun didasari oleh niat baik, namun belum tentu dapat diterima oleh pihak lainnya yang merasa dirugikan secara faktual.

Beberapa hal sebagai pertimbangan yang dapat dilakukan Dedi adalah,

Dari titik awal diskusikan terlebih dahulu dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, untuk menyelaraskan mengenai gagasan yang akan dijalankan. Karena semuanya berawal dari hal ini dan terkait dengan produk hukum yang menjadi dasar kebijakan kedepan. Sehingga tidak tumpang tindih dengan peraturan yang berada diatasnya, yang menjadi sorotan publik selama ini.

Dalam tahap berikutnya ditentukan program kebijakan yang akan dibuat masuk jangka pendek, menengah atau jangka panjang. Jangan sebaliknya dibuat uji coba salah (Try error). Lalu pemetaan jumlah sekolah yang akan dijadikan kegiatan kebijakan rombel 50 secara utuh dan lengkap.

Selanjutnya undang semua para pihak pemangku kepentingan : Dinas pendidkan Prov, Kabupaten-Kota, pengawas sekolah, Kepala sekolah, Komite Sekolah, guru termasuk dari kalangan sekolah swasta. Disampaikan roadmap kebijakan yang akan diambil, dibuat solusi pada persoalan-persoalan yang akan muncul.

Pada tahap eksekusi pelaksanaan, bentuk tim monitor dan evaluator yang menjadi instrumen pengukur layak atau tidaknya program kebijakan rombel 50 ini dijalankan, sebagai bahan masukan untuk dijadikan perbaikan kebijakan ke depan.

Seorang pemimpin benar harus membuat suatu keputusan yang tidak populis. Namun apabila keputusan tersebut memunculkan ketidakadilan bagi seluruh rakyat akhirnya menjadi kontra produktif, tentunya harus ditelaah dengan cermat dan penuh kehati-hatian.

Lebih baik membuat suatu keputusan dengan solusi yang disepakati dengan target yang jelas, berdasarkan data otentik yang ada untuk menekan anak putus sekolah. Walaupun menimbulkan keberatan namun rakyat akan menerimanya dan mendukung, apabila sebelumnya dilakukan melalui ruang dialog dengan rakyat secara komprehensif dan terbuka.

(Redaksi Warta Perwira)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *