WARTAPERWIRA.COM – Alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan non-pertanian telah menjadi fenomena yang masif dan terus meningkat dalam dua dekade terakhir, terutama di kawasan peri-urban dan sentra produksi pangan. Di balik maraknya, terselip persoalan besar yang belum terselesaikan: perubahan mata pencaharian petani akibat hilangnya akses terhadap lahan produktif. Transformasi ini tidak hanya berdampak pada struktur ekonomi lokal, tetapi juga memunculkan persoalan sosial yang kompleks, seperti meningkatnya ketimpangan pendapatan, krisis identitas profesi, serta melemahnya ketahanan pangan nasional.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia kehilangan lebih dari 96.500 hektare lahan sawah antara tahun 2019 hingga 2021. Sementara itu, studi di Kelurahan Lompoe dan Galung Maloang, Kota Parepare, menunjukkan bahwa setelah alih fungsi lahan, hanya 26,92% masyarakat yang masih bekerja di sektor pertanian, sedangkan 65,39% beralih ke sektor non-pertanian seperti buruh bangunan, wiraswasta, tukang ojek, pedagang, hingga tidak bekerja karena usia. Di beberapa wilayah, pendapatan masyarakat bahkan justru menurun karena pekerjaan baru yang digeluti seperti buruh bangunan atau rumah tangga memiliki penghasilan tidak menentu dan lebih rendah dibandingkan penghasilan dari bertani di lahan produktif.
Konversi ini berlangsung di luar kendali petani kecil, yang tidak memiliki cukup daya tawar menghadapi kepentingan pasar maupun tekanan dari proyek-proyek strategis nasional. Lahan yang dijual atau dibebaskan secara bertahap menyebabkan petani kehilangan alat produksinya, memaksa mereka berpindah ke sektor informal. Penelitian di Kecamatan Pringsewu bahkan menunjukkan bahwa alih fungsi lahan sangat terkait dengan perubahan pekerjaan dan pendapatan, serta meningkatnya persaingan di sektor informal akibat bertambahnya pelaku usaha kecil. Ini bukan sekadar soal kehilangan tanah, tapi juga soal kehilangan identitas dan penghidupan yang layak.
Pergeseran profesi dari petani ke buruh bangunan merupakan cerminan dari perubahan struktural ekonomi desa yang belum diimbangi oleh kesiapan sumber daya manusia dan sistem perlindungan sosial. Petani yang sebelumnya hidup dari hasil panen musiman kini harus menyesuaikan diri dengan ritme kerja sektor konstruksi yang keras, kompetitif, dan tidak memberikan kepastian pendapatan. Perubahan ini tidak hanya berimplikasi pada turunnya kualitas hidup, tetapi juga menurunkan tingkat kemandirian ekonomi desa yang sebelumnya berbasis pada sumber daya alam lokal.
Secara sosial, alih fungsi lahan menyebabkan disintegrasi komunitas agraris. Gotong royong dalam pertanian, yang dahulu menjadi pilar kehidupan sosial desa, mulai tergantikan oleh pola kerja individual di sektor informal. Hubungan sosial berbasis produksi bersama mengendur, berganti menjadi hubungan transaksional yang lebih pragmatis. Studi di beberapa desa juga mengungkapkan bahwa solidaritas antar petani melemah karena interaksi yang dulunya terjadi di sawah mulai hilang. Dalam jangka panjang, transformasi ini akan mengancam eksistensi desa sebagai unit produksi sekaligus ruang hidup yang berkelanjutan.
Dalam konteks kebijakan, Indonesia sebenarnya telah memiliki instrumen hukum untuk mengendalikan konversi lahan pertanian melalui Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B). Namun, pelaksanaannya masih menghadapi berbagai kendala. Banyak daerah belum menetapkan peta lahan pertanian tetap, sementara pemerintah daerah lebih mengutamakan pemasukan dari sektor properti dan investasi industri ketimbang melindungi lahan pangan. Akibatnya, proses konversi sering terjadi tanpa mekanisme pengawasan ketat dan tanpa kompensasi yang adil bagi petani.
Alih fungsi lahan juga tidak bisa dipisahkan dari struktur kepemilikan tanah yang timpang. Ketika harga hasil panen menurun sementara biaya produksi meningkat, menjual lahan menjadi pilihan rasional jangka pendek bagi petani. Survei di Kecamatan Sayung menunjukkan bahwa 41% petani menjual lahannya karena kebutuhan ekonomi mendesak. Sayangnya, hasil penjualan lahan sering tidak dikelola dengan baik. Banyak petani kehabisan modal dan akhirnya kesulitan mencari sumber penghidupan baru. Tanpa pendampingan, mereka terjebak dalam pekerjaan informal yang tidak memberikan jaminan masa depan.
Fenomena ini juga menyentuh aspek ketahanan pangan nasional. Lahan pertanian yang terus menyusut menyebabkan produktivitas pangan terancam, terutama beras sebagai komoditas utama. Ketika petani kehilangan lahan, bukan hanya desa yang terdampak, tetapi juga rantai pasok pangan nasional. Indonesia menjadi semakin bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, yang pada akhirnya berpotensi menimbulkan kerentanan terhadap fluktuasi harga dan geopolitik global.
Solusi terhadap masalah ini tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan teknokratik. Diperlukan keberpihakan politik yang jelas terhadap petani sebagai subjek pembangunan. Program reforma agraria yang nyata dan redistribusi lahan harus dikombinasikan dengan penguatan kelembagaan petani agar mereka tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang. Pemerintah juga perlu menetapkan peta lahan pertanian tetap di seluruh daerah sebagai syarat implementasi PLP2B yang efektif.
Selain itu, solusi jangka menengah perlu diarahkan pada diversifikasi ekonomi desa berbasis potensi lokal. Ketika pertanian tidak lagi menjadi satu-satunya sumber penghidupan, desa perlu diarahkan untuk mengembangkan sektor-sektor alternatif seperti agrowisata, pengolahan hasil pertanian, atau industri kreatif berbasis budaya. Namun, upaya ini tetap harus memperhatikan keberlanjutan lingkungan dan kearifan lokal agar tidak menciptakan bentuk eksploitasi baru.
Pendidikan dan pelatihan vokasi juga berperan penting dalam memastikan petani dan generasi muda desa mampu beradaptasi. Generasi muda desa perlu diberikan akses terhadap pelatihan berbasis agribisnis dan kewirausahaan pedesaan, agar mereka tidak terpaksa merantau ke kota untuk bekerja di sektor informal. Pendekatan ini memberi harapan baru bahwa transformasi desa bisa terjadi tanpa mengorbankan identitas dan keberlanjutan sosialnya.
Dengan kata lain, tantangan alih fungsi lahan harus dijawab dengan pendekatan yang sistemik dan terukur. Kita tidak bisa lagi melihat pembangunan hanya dari sisi pertumbuhan ekonomi dan peningkatan investasi. Yang dibutuhkan adalah pembangunan yang manusiawi, berkeadilan, dan berpihak pada kelompok yang paling rentan. Petani tidak boleh terus-menerus menjadi korban dari narasi kemajuan yang tidak melibatkan mereka sejak awal.
Transformasi pertanian dan desa hanya akan berhasil jika dilakukan dengan kesadaran bahwa tanah bukan sekadar aset ekonomi, melainkan ruang hidup dan warisan sosial. Oleh karena itu, mempertahankan petani di lahannya sendiri adalah bentuk investasi jangka panjang bagi keberlanjutan bangsa. Jika tidak segera ditangani, perubahan struktur pekerjaan dari petani menjadi buruh bangunan bukan hanya akan memperlebar jurang kemiskinan, tetapi juga mengancam fondasi kedaulatan pangan dan keutuhan sosial desa di masa depan.
favian kerenn