03.08.2025
Ilustrasi: Budaya Flexing dan Validasi Semu
Ilustrasi: Budaya Flexing dan Validasi Semu

WARTAPERWIRA.COM – Flexing kini menjadi warna dominan di lini masa media sosial kita. Dari unggahan liburan mewah, barang-barang branded, saldo rekening, hingga pencapaian pribadi semuanya dibagikan dengan bangga. Banyak yang memandang ini sah-sah saja. Bahkan, flexing sering dianggap sebagai bentuk motivasi atau strategi personal branding. Namun jika kita amati lebih dalam, flexing bukan sekadar kebiasaan atau ekspresi kebebasan. Ia mencerminkan pola komunikasi yang lebih besar yakni bagaimana media sosial mendorong setiap orang untuk tampil, bersaing, dan menjadikan diri mereka sebagai komoditas (Fuchs, 2017).

Fenomena ini tak bisa dilepaskan dari logika kapitalisme digital yang bekerja secara halus di balik layar. Platform media sosial tidak hanya menjadi ruang untuk berbagi cerita, tetapi juga mesin produksi citra. Algoritma platform mendorong konten yang menarik perhatian untuk menjangkau lebih banyak orang. Dan apa yang paling menarik perhatian di era visual ini? Gaya hidup mewah, pencapaian ekstrem, dan kehidupan yang tampak sempurna. Flexing pun menjadi semacam “mata uang sosial” yang menjanjikan engagement, pengaruh, bahkan peluang ekonomi. Mereka yang bisa menunjukkan kehidupan ideal secara visual lebih berpeluang mendapatkan pengakuan, tawaran endorse, hingga validasi sosial (Fuchs, 2017).

Sosiolog Manuel Castells menawarkan kerangka yang relevan untuk memahami fenomena ini. Dalam bukunya The Rise of the Network Society, ia menjelaskan bahwa kita hidup dalam masyarakat jejaring, di mana identitas dan kekuasaan tidak lagi ditentukan oleh institusi tradisional, melainkan oleh jaringan informasi yang mengalir tanpa henti (Castells, 2010). Di dalam jaringan ini, siapa saja bisa membentuk citra diri dan menyebarkannya luas. Inilah yang disebut Castells sebagai mass self-communication—komunikasi massa yang dikendalikan sendiri oleh individu, tetapi terjadi dalam ruang digital yang tetap tunduk pada logika teknologis dan ekonomi (Castells, 2009).

Dalam ruang ini, tidak semua narasi memiliki peluang yang sama untuk dilihat dan didengar. Platform digital punya algoritma yang menentukan apa yang dianggap “layak tampil”. Dan algoritma ini berpihak pada apa yang sensasional, bukan yang substansial (Fuchs, 2017). Maka, semakin mencolok gaya hidup seseorang, semakin besar peluangnya untuk viral. Akibatnya, media sosial menciptakan standar eksistensi baru, bukan dari siapa kita sebenarnya, tapi dari bagaimana kita bisa menampilkan diri secara mengesankan.

Persoalannya, budaya flexing ini memperkuat ilusi bahwa keberhasilan sepenuhnya ditentukan oleh kerja keras dan strategi personal branding. Ia menutupi realitas struktural seperti ketimpangan kelas, akses pendidikan, atau privilegesosial (UNESCO, 2020). Flexing membingkai keberhasilan sebagai hasil individual, tanpa menyebut konteks sosial yang melahirkannya. Akibatnya, mereka yang tidak mampu tampil sempurna merasa gagal secara pribadi, padahal sering kali mereka justru berhadapan dengan batasan struktural yang tak kasatmata.

Castells juga memperkenalkan istilah space of flows, yaitu ruang sosial baru di mana arus informasi, simbol, dan nilai bergerak cepat melintasi batas geografis (Castells, 2010). Namun, arus ini tidak netral. Mereka yang memiliki akses terhadap estetika dominan, literasi digital, dan waktu untuk mengelola citra diri akan lebih berdaya dalam ruang tersebut. Ini menciptakan ketimpangan baru bukan hanya dalam akses ekonomi, tapi juga dalam akses simbolik terhadap pengakuan.

Budaya flexing juga berdampak pada kesehatan mental, terutama bagi generasi muda. Survei Katadata Insight Center pada 2023 menunjukkan bahwa mayoritas Gen Z di Indonesia merasa tertinggal atau tidak cukup karena membandingkan hidup mereka dengan konten orang lain (Katadata Insight Center, 2023). Ini bukan sekadar persoalan psikologis, tetapi gejala dari sistem komunikasi yang membuat orang merasa harus terus tampil sempurna agar dianggap ada.

Dalam masyarakat jejaring, setiap orang dituntut untuk terus membuktikan eksistensinya melalui visual dan narasi. Identitas pun berubah menjadi pertunjukan yang tak henti-henti (Castells, 2009). Ini bukan lagi soal berbagi cerita, tetapi mempertahankan relevansi di hadapan algoritma dan audiens yang terus menuntut sesuatu yang lebih. Maka, penting bagi kita untuk mengkritisi bukan hanya perilaku flexing itu sendiri, tapi sistem sosial yang mendorongnya. Kita perlu bertanya mengapa pamer jadi kebutuhan? Sistem macam apa yang membuat hidup tampak berharga hanya jika dipertontonkan? Jika tidak ada ruang aman untuk menjadi diri sendiri tanpa performa visual, maka ruang digital yang kita tempati sejatinya sedang mengikis kemanusiaan kita secara perlahan (Fuchs, 2017).

Media sosial bukan tempat yang sepenuhnya bebas, dan kebebasan berekspresi pun tidak berdiri di ruang yang netral. Ia dibentuk oleh kekuasaan berupa kekuasaan simbolik, algoritmik, dan ekonomi (Castells, 2009). Dalam dunia seperti ini, kesadaran kritis menjadi satu-satunya alat pertahanan agar kita tidak terjebak dalam logika tampil demi eksistensi. Flexing bukan hanya gejala, ia adalah panggilan untuk membongkar sistem yang menjadikan manusia sebagai merek (Fuchs, 2017).

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *