09.12.2025
Foto : Kondisi akibat banjir yang telah banyak menelan korban harta dan jiwa (9/12/25)

Foto : Kondisi akibat banjir yang telah banyak menelan korban harta dan jiwa (9/12/25)

WARTAPERWIRA.COM- Saat ini Indonesia dalam kondiri darurat  karena telah terjadi bencana banjir yang melanda pulau sumatera dan sekitarnya. Bencana banjir tersebut telah banyak menelan korban baik harta maupun jiwa, sehingga diperlukan pemikiran yang jernih dan mengambil langkah kongkrit agar bencana banjir ini bisa teratasi. Pemerintah dan rakyat harus bersama sama mengatasinya dari musibah yang terjadi saat ini.

 

Bencana yang Mengguncang Sumatra

Banjir yang melanda pulau Sumatra pada akhir November hingga awal Desember 2025 bukan sekadar peristiwa tahunan. Lebih dari 900 jiwa meninggal, ratusan hilang, dan ribuan rumah hanyut tersapu banjir bandang. Reuters menggambarkan bagaimana warga Aceh harus berjalan di atas batang-batang kayu besar yang hanyut hanya untuk mencapai pos bantuan sebuah pemandangan yang menunjukkan betapa rapuhnya ekosistem di hulu sungai.
https://www.reuters.com/business/environment/indonesians-climb-over-logs-walk-aid-centre-flood-deaths-rise-over-900-2025-12-06/
Memang benar bahwa tropical cyclone Senyar memicu curah hujan ekstrem. Namun para ahli menegaskan bahwa badai bukan satu-satunya penyebab. Pengamat lingkungan Jaya Arjuna menyatakan bahwa banjir Sumatra adalah “kombinasi antara curah hujan tinggi dan kondisi hutan yang telah lama rusak,” sehingga efeknya menjadi jauh lebih destruktif. (https://mistar.id/news/medan/banjir-dan-longsor-di-sumatera-pengamat-soroti-curah-hujan-tinggi-dan-kondisi-hutan-rusak/)

 

Ekosistem yang Runtuh

Ekosistem hutan seharusnya menahan air, meredam limpasan, dan menjaga keseimbangan hidrologi. Namun sebagian besar wilayah hulu Sumatra telah kehilangan penyangga alami tersebut. Prof. Dodik Ridho Nurochmat (IPB University) menegaskan bahwa banjir ini merupakan “gabungan ekstrim cuaca dan degradasi lingkungan akibat aktivitas manusia,” dan ketika zona hijau tidak lagi efektif, maka bencana besar seperti ini menjadi tak terhindarkan. (https://www.abc.net.au/news/2025-12-04/why-is-indonesia-the-most-severly-affected-by-cyclone-senyar/106095614)
Greenpeace Indonesia mencatat bahwa beberapa daerah aliran sungai (DAS) kritis di Sumatera kini hanya memiliki tutupan hutan alami di bawah 25%. Dalam pernyataan resminya, Greenpeace menyebut bahwa “konversi lahan besar-besaran telah menghancurkan kemampuan alam menyerap air hujan,” menjadikan banjir sebagai akibat langsung dari kerusakan tersebut. (https://www.greenpeace.org/southeastasia/press/68147/sumatra-floods-send-prabowo-govt-warning-to-correct-course/)

 

Pengusaha di Balik Hilangnya Hutan

Banyak pihak menuding pelaku industri perkebunan, tambang, dan pembalakan sebagai penyumbang terbesar kerusakan ekologis. Aktivis WALHI, Uli Arta Siagian, menegaskan bahwa bencana di Sumatera bukan semata karena cuaca, melainkan “akibat hutan-hutan yang dihancurkan selama bertahun-tahun tanpa restorasi.” (https://www.thejakartapost.com/indonesia/2025/12/04/environmental-degradation-in-spotlight-in-sumatra-floods.htm). Pemerintah akhirnya memanggil perusahaan-perusahaan yang diduga kuat menjadi penyebab kerusakan lingkungan. Namun kritik publik tetap menguat: mengapa izin-izin tersebut diberikan begitu longgar sejak awal? BBC Indonesia mencatat bahwa pemerintah kini baru meninjau ulang izin lingkungan setelah banjir besar menghancurkan banyak wilayah. (https://www.abc.net.au/indonesian/2025-12-05/mengapa-dampak-bencana-di-indonesia-paling-parah/106100356). Pengamat kebijakan Agus Wahid menilai bahwa bencana Sumatera adalah bukti nyata “negara kehilangan kendali dalam tata kelola lingkungannya sendiri.” Ketika izin diberikan tanpa kajian mendalam, sementara pengawasan hampir nihil, maka banjir bukan lagi risiko, tetapi keniscayaan.

 

Masyarakat Juga Punya Andil

Kita tidak bisa hanya menyalahkan industri dan pemerintah. Masyarakat pun berperan melalui penebangan liar, pembakaran lahan, hingga pembuangan sampah ke sungai. Budaya membuang sampah ke aliran sungai menyebabkan sedimentasi dan penyumbatan, memperparah luapan air ketika curah hujan tinggi. Banyak sungai di Sumatera kini berubah menjadi saluran limbah. Pemerintah daerah mengakui bahwa penegakan hukum terhadap pelanggaran kebersihan sungai masih jauh dari efektif. Akibatnya, setiap hujan deras menyebabkan sungai meluap karena tersumbat sampah rumah tangga maupun limbah industri.

 

Tata Ruang yang Salah Kaprah

Kesalahan tata ruang memperparah dampak banjir. Permukiman dibangun di bantaran sungai, perumahan komersial menggusur lahan resapan, dan pembangunan infrastruktur sering mengabaikan analisis risiko bencana. Ketika ruang air direbut untuk beton, maka air “mengambil kembali” jalurnya melalui banjir besar. Banjir membawa dampak lebih luas daripada sekadar kerusakan fisik. Reuters melaporkan bahwa banyak wilayah di Aceh kini menghadapi risiko wabah penyakit setelah fasilitas kesehatan rusak dan air bersih sulit didapat. (https://www.reuters.com/business/environment/everything-destroyed-indonesias-aceh-grapples-with-disease-after-floods-2025-12-07/)

 

Rehabilitasi Hutan adalah Jalan Utama

Para akademisi menyimpulkan bahwa tanpa rehabilitasi hutan secara besar-besaran, bencana banjir akan terus terjadi. Pemulihan kawasan hulu, penghijauan kembali DAS, serta pembatasan izin industri harus menjadi prioritas nasional. Pengamat hukum lingkungan dari Waspada.id menilai bahwa tragedi banjir Sumatera harus menjadi momentum untuk “menjerat perusak lingkungan dengan pasal yang tegas dan tak dapat ditawar.” Tanpa hukuman yang berat, kejahatan ekologis akan terus berulang. (https://www.waspada.id/medan/pengamat-hukum-banjir-dan-lonsor-momentum-menjerat-perusak-lingkungan/)

 

Bukan Alam yang Bersalah

Sering kali kita menunjuk alam sebagai penyebab, padahal alam hanya menjalankan siklusnya. Yang bersalah adalah manusia yang merusak hutan, mengubah aliran sungai, membuka daerah resapan, dan memaksakan pembangunan tanpa etika ekologis. Alam tak bersalah; manusialah sumbernya.

 

Jadi, Salah Siapa ?

Banjir Sumatera adalah hasil dari kesalahan kolektif.
1. Pengusaha salah karena merusak hutan demi profit.
2. Pemerintah salah karena longgar memberi izin dan lemah mengawasi.
3. Masyarakat salah karena abai menjaga lingkungan.
4. Alam? Hanya menjadi korban perubahan yang dibuat manusia.
Solusi ke depan adalah membangun kesadaran ekologis bersama: Penguatan regulasi, Penegakan Hukum, dan Restorasi Hutan secara masif. Tanpa itu, bencana seperti ini hanya menunggu waktu untuk kembali terjadi.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *