03.08.2025
Banjir Hoaks, Siapa yang diuntungkan?

Ilustrasi Informasi Hoaks (Sumber : Freepik)

 WARTAPERWIRA.COM-Setiap hari, kita disuguhi informasi baru dari berbagai kanal bisa melalui WhatsApp keluarga, TikTok, hingga portal berita daring. Tapi di antara semua kabar itu, ada yang salah, setengah benar, atau sengaja dimanipulasi. Hoaks tidak lagi muncul sebagai penyimpangan ia telah menjadi bagian dari keseharian digital kita. Ironisnya, sering kali kita menyebarkannya tanpa sadar. Siapa yang benar-benar diuntungkan dalam situasi ini?

Fenomena banjir hoaks bisa dijelaskan dari berbagai sudut pandang, dan komunikasi memainkan peran sentral dalam memahaminya. Dalam dunia yang dibanjiri informasi (information overload), publik tidak hanya kesulitan membedakan mana fakta dan mana fiksi, tapi juga menjadi rentan terhadap konten yang memicu emosi, alih-alih logika.

Menurut teori agenda setting yang diperkenalkan oleh McCombs dan Shaw (1972), media tidak memberi tahu kita apa yang harus kita pikirkan, tapi apa yang harus kita pikirkan tentang. Dalam konteks ini, media sosial dan platform digital telah menjadi “penentu agenda baru”. Namun, bedanya, kini bukan lagi jurnalis atau editor yang menentukan berita penting, tapi algoritma yang memprioritaskan konten dengan engagement tertinggi dan sayangnya, hoaks lebih sering menarik perhatian dibanding fakta.

Mengapa hoaks begitu efektif memengaruhi opini publik? Di sinilah teori framing dari Entman (1993) menjadi relevan. Informasi dikonstruksi sedemikian rupa untuk menyoroti aspek tertentu dan mengabaikan yang lain. Contohnya, hoaks tentang vaksin yang disusun dengan narasi konspiratif akan menonjolkan risiko (yang dilebih-lebihkan) dan mengabaikan bukti ilmiah. Dengan kata lain, bukan fakta yang diperdebatkan, tapi bagaimana fakta itu dikemas.

Sementara itu, teori spiral of silence dari Noelle-Neumann (1974) menjelaskan mengapa orang cenderung diam saat pandangannya berbeda dari mayoritas. Ketika hoaks menyebar luas dan tampak dipercaya banyak orang, individu yang memiliki informasi benar mungkin enggan berbicara karena takut dikucilkan. Ini memperkuat dominasi hoaks dan memperlemah arus koreksi.

Yang lebih mencemaskan, hoaks tak lagi lahir secara organik. Dalam banyak kasus, ia dikonstruksi secara sistematis untuk tujuan politik dan ekonomi. Laporan dari Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (2024) menyebutkan bahwa menjelang Pemilu 2024, lebih dari 70% hoaks yang beredar bersifat politis. Di sinilah komunikasi digital beririsan dengan ekonomi politik media. Platform mendapat untung dari trafik dan klik, sementara aktor politik bisa mengarahkan opini publik dengan biaya murah dan jangkauan luas.

Sebagai pengguna media, kita tak lagi sekadar konsumen informasi, tapi juga distributor. Menurut Uses and Gratifications Theory (Katz et al., 1973), audiens memilih dan menyebarkan media sesuai kebutuhan baik untuk hiburan, identitas, maupun pelarian. Dalam praktiknya, banyak orang membagikan hoaks bukan karena percaya, tapi karena merasa terlibat dalam “perjuangan”, ingin tampil tahu lebih dulu, atau sekadar ingin viral.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan?

Pertama, literasi media harus melampaui sekadar memverifikasi fakta. Kita juga perlu memahami bagaimana emosi dan algoritma bekerja. Kedua, pendekatan komunikasi kritis perlu dikembangkan dalam pendidikan, agar generasi muda tidak hanya jadi pengguna, tapi juga pengkritik sistem informasi digital. Ketiga, kita perlu menekan platform digital untuk lebih bertanggung jawab atas penyebaran informasi palsu di ruangnya.

Dalam masyarakat demokratis, komunikasi adalah jantung dari kesadaran publik. Jika komunikasi tercemar oleh hoaks, maka nalar publik akan ikut tenggelam. Dan saat nalar mati, yang berkuasa bukanlah kebenaran tapi siapa yang paling lantang, paling cepat, dan paling klik-able.

Editor : Agus Budiana

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *