
PURBALINGGA, WARTAPERWIRA.COM – Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang tengah digulirkan di berbagai desa di Kabupaten Purbalingga terus menjadi sorotan publik. Setelah sebelumnya Warta Perwira mengangkat tantangan pelaksanaan PTSL dalam editorial bertajuk “PTSL dan Tantangan Menuju Kepastian”, kini muncul sejumlah temuan lapangan dan pendapat kritis dari para ahli hukum dan notaris-PPAT.
Penelusuran tim Warta Perwira di tiga desa di Kabupaten Purbalingga menemukan adanya penerapan biaya partisipasi PTSL yang melebihi ketentuan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri. Biaya yang dibebankan kepada masyarakat tercatat melampaui batas maksimal yang diatur pemerintah pusat. Ironisnya, hal ini dibenarkan dengan alasan telah terjadi “kesepakatan” dalam musyawarah desa antara pemerintah desa dan Kelompok Masyarakat (Pokmas).
Praktik tersebut dikhawatirkan menyimpang dari semangat awal PTSL sebagai program nasional yang bersifat pelayanan, bukan komersialisasi. Ketidaktertiban administrasi dan lemahnya pengawasan dikhawatirkan akan memunculkan persoalan hukum di kemudian hari.
Salah satu praktisi hukum senior di Purbalingga, menyoroti secara khusus soal dasar penerbitan sertifikat dalam program PTSL yang hanya berdasarkan pengakuan hak. “Jika pencetakan sertifikat tidak melalui validasi mendalam oleh pemerintah desa, misalnya memastikan tanah diperoleh dari hibah, waris, atau jual beli yang sah, maka potensi sengketa tanah akan besar. Ini bukan asumsi, kita pernah mengalami pada Program Prona 2007/2008, di mana banyak sengketa muncul karena dasar hak yang tidak jelas,” ujarnya kepada Warta Perwira.
Sementara itu, Ketua Ikatan Notaris Indonesia (INI) Kabupaten Purbalingga, Notaris – PPAT Heri, S.H., M.Kn. menyatakan bahwa program PTSL pada dasarnya membawa manfaat besar bagi masyarakat. “Kepastian huk um melalui sertifikat tanah sangat penting, tidak hanya untuk menghindari konflik, tetapi juga mendukung pemberdayaan ekonomi warga karena dapat dijadikan agunan,” katanya.
Namun, ia menekankan perlunya kehati-hatian dalam validasi data. “Jika hanya berdasar pengakuan sepihak dan langsung disahkan oleh desa tanpa ditelusuri riwayat kepemilikannya, maka tumpang tindih hak kepemilikan tak bisa dihindari,” tambahnya.
Baik advokat maupun notaris tersebut menegaskan bahwa tanggung jawab terbesar ada pada pemerintah desa dan Pokmas untuk melakukan verifikasi yang jujur, transparan, dan sesuai prosedur. Di sisi lain, pendampingan dari Badan Pertanahan Nasional (BPN), inspektorat, serta pengawasan oleh masyarakat sipil dinilai sangat penting dalam memastikan program ini berjalan sesuai tujuannya.
Warta Perwira akan terus menelusuri praktik-praktik penyimpangan serta mengawal agar pelaksanaan program PTSL di Purbalingga tidak menjauh dari prinsip keadilan dan kepastian hukum.
(Redaksi Warta Perwira)