11.11.2025
Soeharto Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional
Foto: Potret resmi Presiden Soeharto tahun 1993.

WARTAPERWIRA.COM, Senin (10/11) – Pemerintah melalui Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada sepuluh tokoh bangsa. Di antara nama-nama tersebut, terdapat figur-figur besar yang telah memberi warna dalam perjalanan sejarah Indonesia: K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Jenderal Besar H.M. Soeharto, Marsinah, Prof. Mochtar Kusumaatmadja, Hj. Rahmah El Yunusiyyah, Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, Sultan Muhammad Salahuddin, Syaikhona Muhammad Kholil, Tuan Rondahaim Saragih, dan Zainal Abidin Syah.

Kesepuluh nama ini mencerminkan keberagaman latar belakang perjuangan bangsa dari pemimpin negara, ulama, tokoh perempuan, pejuang buruh, hingga akademisi. Mereka mewakili semangat Indonesia yang majemuk: perjuangan di medan politik, sosial, ekonomi, hingga spiritual. Namun, dari deretan nama itu, satu nama mencuri perhatian publik dan menjadi sorotan utama: Presiden Kedua Republik Indonesia, Jenderal Besar H.M. Soeharto.

Soeharto: Antara Pembangunan dan Luka Sejarah

Bagi sebagian masyarakat dan kalangan pemerhati sejarah, keputusan ini tetap menyisakan tanda tanya dan perasaan yang campur aduk. Sebab, menilai sosok Soeharto tidak bisa dilakukan secara hitam putih.

Di satu sisi, tidak dapat dipungkiri bahwa pada masa pemerintahannya, Indonesia mengalami stabilitas politik dan kemajuan pembangunan yang signifikan. Program swasembada pangan, pembangunan infrastruktur, dan penguatan ekonomi nasional menjadi bagian dari catatan keberhasilannya.

Namun di sisi lain, masa Orde Baru juga menyisakan luka sejarah: praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang mengakar, pelanggaran HAM, serta pembungkaman kebebasan pers yang menghambat berkembangnya demokrasi. Banyak media dibredel karena pemberitaan yang dianggap tidak sejalan dengan pemerintah, seperti kasus Sinar Harapan pada 1973. Bahkan jurnalis Harian Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin (Udin), tewas tragis pada 1996 setelah memberitakan dugaan korupsi di Yogyakarta peristiwa yang hingga kini masih menjadi luka terbuka bagi dunia pers.

Antara Penghormatan dan Tanggung Jawab Sejarah

Dalam konteks politik hari ini, keputusan ini juga menimbulkan persepsi publik akan adanya dimensi moral dan kedekatan historis, mengingat Presiden Prabowo Subianto merupakan menantu dari almarhum Soeharto. Kendati demikian, masyarakat tentu berharap keputusan tersebut murni dilandasi pertimbangan objektif dan historis, bukan karena kepentingan politik atau ikatan keluarga.

Bagi bangsa yang besar, menghormati sejarah berarti juga berani menatap masa lalu secara jujur  mengakui jasa, tanpa menutup mata terhadap kesalahan.

Redaksi Warta Perwira berpandangan bahwa penganugerahan gelar pahlawan kepada Soeharto seharusnya tidak dimaknai sebagai penghapusan kesalahan masa lalu, melainkan menjadi pengingat penting bahwa setiap kepemimpinan memiliki sisi terang dan sisi gelap. Dari sanalah seharusnya bangsa ini belajar agar sejarah tidak berulang.

Akhirnya, biarlah waktu dan sejarah yang menilai. Yang terpenting, bangsa ini tetap menjaga ingatan kolektif, menghargai jasa tanpa mengabaikan luka, dan terus memperjuangkan nilai-nilai demokrasi, keadilan, serta kebebasan pers yang dulu pernah dibungkam.

(Redaksi Warta Perwira)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *