
WARTAPERWIRA.COM, 18 Agustus 2025 – Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyebutkan “Guru itu beban negara, dosen juga harus diukur kinerjanya. Banyak di media sosial saya selalu mengatakan, oh menjadi dosen atau menjadi guru tidak dihargai karena gajinya nggak besar. Ini juga salah satu tantangan bagi keuangan negara. Apakah semuanya harus keuangan negara ataukah ada partisipasi?” menimbulkan diskusi serius di ruang publik.
Media berkepentingan menyoroti isu ini bukan sekadar polemik kata-kata, tetapi substansi penghormatan terhadap profesi guru dan dosen yang selama ini disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Sebab, di balik pernyataan itu tersimpan pertanyaan besar: apakah negara benar-benar menempatkan pendidikan sebagai prioritas pembangunan?
Guru itu Beban Negara?
Guru dan dosen tidak bisa direduksi sekadar angka dalam neraca keuangan. Mereka adalah penentu kualitas generasi bangsa, benteng terakhir dari kebodohan, serta ujung tombak dalam menjaga peradaban. Mengkategorikan mereka sebagai “beban” jelas kontradiktif dengan semangat kemerdekaan yang selalu menggaungkan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai amanat konstitusi.
Guru dan dosen bukan beban negara mereka adalah investasi kritikal bagi masa depan bangsa. Menyebut mereka sebagai “beban” justru memperlihatkan disorientasi dalam melihat arah kebijakan pendidikan.
Keringat para pendidik, baik guru maupun dosen, tidak bisa diukur hanya dari gaji atau fasilitas yang mereka terima. Di balik ruang kelas dan kampus, ada dedikasi panjang yang sering tak terlihat: pengorbanan waktu, tenaga, dan bahkan penghasilan demi memastikan generasi muda mendapatkan ilmu dan nilai-nilai kehidupan. Banyak dari mereka bekerja dalam kondisi serba terbatas, namun tetap menjaga idealisme untuk mencerdaskan anak bangsa.
Di sisi lain, tanggung jawab negara tak bisa dielakkan. Konstitusi kita jelas menegaskan bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa adalah kewajiban negara. Memindahkan sebagian tanggung jawab itu kepada masyarakat memang bisa menjadi bentuk partisipasi, tetapi harus diletakkan dalam kerangka dukungan yang transparan, adil, dan proporsional. Bukan sebagai pengganti kewajiban konstitusional negara, melainkan sebagai penguat ekosistem pendidikan yang sehat.
Di tengah perdebatan semacam ini, peran media menjadi vital. Mengawal kebijakan pendidikan lewat kritik, analisis akademik, dan pemberitaan yang berimbang adalah bagian dari menjaga ruang publik tetap sehat. Media harus memastikan bahwa suara guru, dosen, maupun masyarakat terdengar, sehingga kebijakan yang lahir tidak terlepas dari semangat keadilan sosial dan amanat konstitusi.
(Redaksi Warta Perwira)