
WARTAPERWIRA.COM – Fenomena “sound horeg” kian marak di berbagai wilayah, terutama di perkampungan dan kota-kota kecil. Istilah ini merujuk pada penggunaan sistem audio berdaya tinggi yang dipakai dalam hajatan, konvoi, hingga kegiatan hiburan jalanan. Suaranya membahana, dentumannya menusuk, dan tak jarang berlangsung hingga larut malam. Apa yang semula diniatkan sebagai hiburan, perlahan berubah menjadi bentuk perampasan hak atas ketenangan bagi warga sekitar.
Sound Horeg
Banyak warga mengeluh tapi tak berani bersuara. Ada ketakutan dianggap “menghalangi rezeki orang hajatan” atau “tidak ikut senang melihat tetangga bahagia”. Sementara itu, regulasi mengenai kebisingan kerap mandul karena tidak ditegakkan secara konsisten. Bahkan, aparat kadang enggan turun tangan dengan alasan “sudah budaya setempat”.
Padahal, Pasal 492 KUHP menyatakan bahwa siapa pun yang dengan sengaja membuat gaduh di malam hari dapat dipidana. Selain itu, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 48/1996 menetapkan ambang batas kebisingan lingkungan. Sayangnya, semua ini seringkali hanya menjadi aturan di atas kertas.
Kita tidak sedang menyerukan pelarangan total terhadap sound system dalam acara rakyat. Yang dibutuhkan adalah kesadaran kolektif dan batas wajar. Hiburan tetap bisa dinikmati tanpa harus merampas kenyamanan orang lain. Penggunaan sound system seharusnya mempertimbangkan waktu, lokasi, dan volume. Dan pihak berwenang harus hadir sebagai penengah, bukan sekadar penonton.
Warta Perwira mengajak semua pihak—pemerintah, tokoh masyarakat, dan warga—untuk bersama-sama membangun budaya tertib suara, di mana hak atas hiburan berjalan seiring dengan hak atas ketenangan.
( Redaksi Warta Perwira )