
WARTAPERWIRA.COM, 17 Juli 2025 – Merger tiga bank syariah milik negara—Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, dan BRI Syariah—menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI) pada 2021 digadang-gadang sebagai tonggak sejarah kebangkitan ekonomi syariah nasional. Namun setelah lebih dari tiga tahun berjalan, muncul pertanyaan mendasar yang mengguncang semangat keadilan yang seharusnya melekat pada identitas syariah: mengapa gaji pegawai telah diseragamkan, tetapi skema pensiun justru tetap dibedakan?
Kebijakan yang berlaku saat ini menunjukkan bahwa pegawai non-officer dari eks-Bank Syariah Mandiri dan BNI Syariah dikenakan usia pensiun maksimal 46 tahun, sedangkan pegawai dari eks-BRI Syariah tidak terkena ketentuan yang sama. Padahal, semua kini berada di bawah satu institusi hukum yang sama, satu jenjang karier yang sama, dan satu struktur gaji yang telah diseragamkan. Di mana letak keadilannya?
Dalam hukum ketenagakerjaan nasional, asas kesetaraan dan non-diskriminasi merupakan prinsip utama. Pasal 5 dan 6 UU Ketenagakerjaan dengan tegas melarang perlakuan berbeda terhadap pekerja dalam hubungan industrial yang setara. Ketika hak finansial seperti gaji sudah disamakan, maka semestinya hak karier dan pensiun juga mengikuti prinsip yang sama.
Lebih jauh, ketidakadilan ini bukan sekadar soal teknis kepegawaian. Ini adalah soal martabat dan kepercayaan. Para pegawai yang telah berdedikasi puluhan tahun tiba-tiba dihentikan kariernya secara dini bukan karena performa, tapi karena legacy sebelum merger. Ini bukanlah cara membangun budaya korporasi yang sehat.
Bank Syariah Indonesia (BSI ) Wajib Menjelaskan kepada Publik Soal Kebijakan Pensiun Dini Pegawai Legacy
Bank Syariah Indonesia (BSI), sebagai institusi keuangan milik negara hasil penggabungan tiga bank syariah BUMN—BRI Syariah, BNI Syariah, dan Bank Syariah Mandiri (BSM)—memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk menjelaskan secara terbuka kebijakan ketenagakerjaan yang diterapkan, khususnya terkait usia pensiun pegawai dari entitas asal.
BSI wajib mengungkap kepada publik:
Apa dasar hukum dan kebijakan internal yang digunakan untuk menetapkan usia pensiun 46 tahun bagi sebagian pegawai, dan mengapa hal ini tidak diberlakukan secara merata kepada seluruh pegawai dari tiga entitas asal.
Berapa jumlah total pegawai yang terdampak oleh kebijakan ini, termasuk rinciannya berdasarkan asal entitas, jabatan, dan usia saat diberhentikan.
Apa bentuk kompensasi dan skema perlindungan yang diberikan kepada pegawai terdampak, dan apakah kompensasi tersebut memenuhi asas keadilan serta sesuai ketentuan perundang-undangan ketenagakerjaan.
Publik berhak mengetahui apakah BSI menjalankan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan kesetaraan dalam mengelola sumber daya manusianya, terlebih sebagai institusi yang membawa nama besar BUMN dan mengelola dana umat.
Sebagai media independen yang berpihak pada keadilan sosial, Redaksi Warta Perwira menegaskan komitmennya untuk memperjuangkan hak-hak para pegawai yang merasa terzolimi oleh kebijakan pensiun yang tidak setara ini. Kami memandang bahwa persoalan ini bukan sekadar urusan internal BSI, tetapi menyangkut prinsip dasar keadilan ketenagakerjaan.
Untuk itu, Redaksi Warta Perwira akan mengajukan permintaan tanggapan resmi kepada manajemen BSI, Serikat Pekerja BSI (SP-BSI), Kementerian BUMN, Kementrian Tenaga Kerja serta menggali pendapat dari para praktisi hukum ketenagakerjaan. Kami percaya, suara mereka yang terdampak harus diangkat dan sistem yang tidak adil harus dikoreksi.
( Redaksi Warta Perwira )