18.07.2025
Foto: Gedung Dewan Pers (dewanpers.co.id)
Foto: Gedung Dewan Pers (dewanpers.co.id)

WARTAPERWIRA.COM – Ketika negara menuntut media massa untuk bertanggung jawab, menjaga etika jurnalistik, dan berkontribusi terhadap demokrasi, ironisnya justru negara pula yang memasang jeruji prosedural yang nyaris tak bisa ditembus: verifikasi Dewan Pers.

Sejak diberlakukan, verifikasi media oleh Dewan Pers dimaksudkan untuk menyaring media profesional dari media abal-abal. Namun, dalam praktiknya, proses ini terasa berbelit, lambat, dan tak ramah terhadap media lokal atau pemula yang tengah bertumbuh.

Tuntutan Berat untuk Media yang Sedang Bertumbuh

Berdasarkan regulasi resmi dari Dewan Pers, media yang ingin mendapatkan status terverifikasi harus memenuhi sejumlah persyaratan faktual yang tidak ringan. Beberapa di antaranya mencakup:

  • Berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT) khusus di bidang media;
  • Memiliki penanggung jawab redaksi bersertifikasi Wartawan Utama;
  • Menyediakan alamat kantor tetap, struktur organisasi redaksi, serta SOP redaksional;
  • Melampirkan dokumen legal seperti NPWP perusahaan dan bukti pelaporan pajak;
  • Telah aktif dan konsisten mempublikasikan karya jurnalistik.

(Sumber: Panduan Verifikasi Faktual Media – Dewan Pers)

Secara prinsip, semua persyaratan ini bertujuan baik: memastikan profesionalisme dan tanggung jawab media. Namun dalam praktiknya, syarat-syarat tersebut menjadi beban berat—bahkan penghalang—bagi banyak media lokal dan pemula yang sedang bertumbuh. Terutama bagi media yang beroperasi secara mandiri, tanpa dukungan investor besar, di daerah yang minim akses pelatihan dan sertifikasi.

Alih-alih mendorong perkembangan ekosistem pers yang beragam, model verifikasi seperti ini justru cenderung menyeragamkan realitas, dan berisiko menyingkirkan media yang justru paling dekat dengan denyut masyarakat.

Menyeragamkan Tidak Harus Menyingkirkan

Apakah untuk menjadi media sah di mata negara memang harus serumit ini? Bukankah logika dasarnya adalah media yang aktif, terbuka, dan menjalankan kode etik seharusnya diberi ruang tumbuh, bukan dibatasi oleh pagar administratif yang tak semua mampu lewati?

Ketimbang mendorong pertumbuhan ekosistem pers yang sehat, model verifikasi saat ini justru rawan menimbulkan kasta dalam industri media: media besar yang “resmi”, dan media kecil yang dianggap “tidak sah”.

Padahal, banyak media lokal telah berbadan hukum resmi dan diakui oleh Kementerian Hukum dan HAM melalui sistem AHU. Mereka tercatat sebagai Perseroan Terbatas dengan maksud dan tujuan di bidang pers, sebagaimana diatur dalam UU Pers. Namun pengakuan legal formal tersebut masih belum cukup untuk mendapat status “terverifikasi” di mata Dewan Pers.

Sebaiknya Disederhanakan, Cukup Diperketat Pengawasannya

Kami tidak menolak verifikasi. Tapi harus diakui, beban administratif hari ini tidak seimbang dengan realitas sebagian besar media lokal.

Alih-alih mempersulit, verifikasi sebaiknya disederhanakan dan diganti dengan pengawasan yang ketat dan berkelanjutan terhadap kualitas karya jurnalistik.

Kenapa Verifikasi Dewan Pers Perlu Disederhanakan?

Banyak media lokal yang sebenarnya berkualitas, konsisten memberitakan kepentingan publik, dan menjalankan fungsi kontrol sosial, justru tersingkir dari sistem verifikasi hanya karena tidak mampu memenuhi syarat legal formal yang kompleks. Padahal, kualitas sebuah media tidak semata-mata diukur dari kelengkapan berkas administrasi, tetapi dari integritas etika dan tanggung jawab kerja jurnalistik yang dijalankan setiap hari di lapangan.

Ironisnya, media-media seperti ini kerap menjadi tumpuan informasi warga di daerah—cepat, hadir langsung di lokasi, dan responsif terhadap keluhan publik—namun tidak dianggap “sah” hanya karena belum memiliki struktur perusahaan yang rumit atau sertifikasi pemimpin redaksi.

Jika prosedur tetap dibiarkan rumit dan tanpa mekanisme pembinaan yang adil, maka kita bukan sedang memperkuat demokrasi pers, tapi secara tidak sadar membatasi hak masyarakat untuk memperoleh informasi dari sumber-sumber lokal yang kredibel.

Namun, Pengawasan Jangan Longgar

Menyederhanakan verifikasi bukan berarti melemahkan kualitas. Justru ketika pintu masuk dipermudah, pengawasan harus diperketat. Dewan Pers tetap harus hadir sebagai pengontrol mutu dan penjaga etika jurnalistik.

Pengawasan bisa dilakukan melalui audit konten dan etika secara berkala, menilai apakah media benar-benar menjalankan tugas jurnalistik secara profesional. Evaluasi juga dapat berbasis pada pelaporan publik—termasuk respon terhadap pengaduan masyarakat, dan aktivitas jurnalistik yang dapat dilacak secara digital.

Jika ditemukan pelanggaran, pendekatannya tidak langsung represif atau bersifat mengucilkan, melainkan berbasis sanksi yang edukatif dan pendampingan. Karena mendorong perbaikan lebih bermakna daripada sekadar memberi cap “tidak sah”.

Solusi Alternatif: Bertahap, Digital, dan Berbasis Etika

Daripada menerapkan sistem verifikasi yang kaku dan seragam, sudah saatnya Dewan Pers mengadopsi pendekatan yang lebih progresif dan inklusif: verifikasi bertahap. Media tidak langsung divonis layak atau tidak layak, tapi diberi ruang untuk tumbuh melalui skema:
Terdaftar → Dibina → Terpantau → Terverifikasi.

Model ini memungkinkan media kecil untuk masuk dalam sistem, mendapat pendampingan, dan tetap dalam pengawasan. Selama proses, mereka bisa mengunggah bukti aktivitas jurnalistik dan kepatuhan terhadap kode etik melalui formulir online yang sederhana dan terstandarisasi, bukan melalui tumpukan dokumen yang membebani.

Yang ditekankan bukan hanya struktur usaha, tapi kualitas konten, konsistensi liputan, serta kepatuhan pada etika jurnalistik. Sebab, hakikat profesionalisme pers terletak pada tanggung jawab kepada publik, bukan semata pada legalitas administratif.

Verifikasi penting. Tapi prosesnya tidak boleh menghambat demokratisasi pers. Jangan biarkan prosedur yang rumit mematikan semangat jurnalisme akar rumput. Jika benar pers adalah pilar keempat demokrasi, maka setiap pilar—besar atau kecil—layak untuk disokong, bukan disingkirkan.

Redaksi Warta Perwira

Opini ini merupakan sikap redaksi WartaPerwira.com yang berpihak pada kebebasan pers, jurnalisme lokal, dan akses yang adil terhadap legalitas media di Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *