
The New York Times (Sumber : Antara)
WARTAPERWIRA.COM – Era 70, 80 dan pertengahan tahun 1990-an di Indonesia hampir seluruh pers dalam proses fungsi informasi pemberitaannya terstandarkan berdasarkan eranya saat itu. Diawali dengan rapat redaksi untuk menentukan isu-isu apa saja yang faktual yang menjadi perhatian publik untuk diberitakan. Tentunya dengan arahan dan batasan rambu aturan yang tetap menjadi acuan, terutama dalam Kode Etik Jurnalistik. Wartawan ke lapangan untuk liputan, setelah selesai dilapangan hasilnya diserahkan pada bagian editor, semua hal-hal yang terkait dengan verfikasi sumber, aturan main dalam tulisan di cek-recek kembali.
Dalam proses inilah redaktur pelaksana ikut menelaah kembali dan menilai layak atau tidak hasil susunan berita yang telah dibawa oleh wartawan. Apabila ada yang kurang harus segera direvisi, karena tenggat waktu (dead line) harus terbit esok harinya. Sebaliknya apabila lolos siap untuk diterbitkan tentunya pintu akhir ada di pimpinan redaksi. Betapa proses yang harus dilewati oleh seorang wartawan didalam membuat berita tidak semudah dengan eranya sekarang era teknologi digitalisasi, dimana semuanya harus serba real time diliput langsung diberitakan. (walaupun ada proses gate keepernya oleh redaktur, tapi tidak sekonvensional era sebelumnya).
Berita-berita yang sampai pada masyarakat adalah hasil olahan proses redaksional dalam suatu media pers. Sehingga suatu kejadian peristiwa apapun masyarakat menjadi tahu melalui informasi-informasi berita yang di tayangkan melalui medianya masing-masing.
Namun ada satu hal yang layak untuk kita pertimbangkan ke depan, terutama terkait dengan keberadaan media pers. Tentunya media tempat wartawan bekerja ingin tetap ada dan eksis dalam jangka panjang, satu hal penting dan mendasar adalah media pers harus mampu mengelola medianya dengan baik agar pemasukan tetap berjalan dengan lancar, terutama dalam hal yang menjadi tata kelola alokasi anggaran biaya operasional sehari-hari.
Semuanya tersistem dan terkait satu dengan yang lainnya dalam manajemen media massa, mulai dari wartawan, editor, redaktur pimpinan redaksi, IT, keuangan, sarana prasarana termasuk manajemen bisnis didalamnya semuanya menentukan. Luaran produk karya jurnalistik yang baik (berita, opini-editorial-kolom-artikel, feature dan jurnalis foto) tentunya akan banyak meningkatkan keterbacaan masyarakat (viewers), tentunya hal ini merupakan peluang sekaligus alternatif pemasukan yang patut untuk disikapi oleh seluruh para pengelola media pers. Mengingat apabila bersaing dalam iklan sangat berat, apalagi media-media kecil harus menghadapi hegemoni media-media besar dengan group medianya masing-masing.
Adalah The New York Times salah satu koran terbaik dan berpengaruh di dunia berdiri tahun 1851, dengan media cetak. Standar editorialnya tinggi dan ketat. Slogannya adalah “ All the News that’s Fit to print”. Korespondennya tersebar di seluruh dunia, termasuk kerjasama dengan media nasional Tempo tahun 2024. Media pers yang menjadi rujukan seluruh pihak yang terkait dengan informasi-informasi berita penting.
Namun seiring jalannya waktu The New York Times dalam konteks bisnis medianya tidak luput dari kerasnya persaingan bisnis yang sangat ketat. Hal yang sangat dirasakan oleh The New York Times adalah menurunnya sumber-sumber saluran pendapatan medianya.
Terobosan The New York Times
Tempo (7/10/2024) melansir. Model bisnis berlangganan sudah berkembang di beberapa negara, salah satunya Amerika Serikat. Laporan Forbes.com berjudul Why Future of Media Is Subscribtion-Based, menceritakan bagaimana model bisnis itu mampu mengembangkan The New York Times (NYT).
Pada 2012, tulis laporan tersebut, The NYT memiliki empat saluran pendapatan yakni langganan cetak, iklan cetak, iklan digital, dan langganan digital. Namun, tiga saluran awal perlahan mengalami penurunan pendapatan. Sementara lini keempat, yakni langganan digital, justru tumbuh.
Tercatat, pada 2022 lalu NYT memperoleh pendapatan sebesar US$ 2.3 miliar. US$ 1,55 miliar di antaranya berasal dari langganan cetak dan digital. Sementara 63 persen dari pendapatan langganan itu berasal dari digital.
Gambaran diatas menegaskan pemahaman pada kita bahwa, para pengelola media tentunya wajib senantiasa melihat potensi peluang yang dapat memberikan pemasukan berarti bagi medianya untuk jangka panjang. Langganan digital adalah salah satunya role model yang perlu diadopsi, hal tersebut dilakukan dalam rangka mensikapi keberadaan media pers yang harus tetap ada dengan fungsi-fungsi persnya, terutama dalam merawat seluruh pemangku kepentingan secara internal di media masing-masing.
Layanan langganan digital tentunya perlu diimbangi dengan pembenahan sistem termasuk sumber daya manusianya (para wartawannya), dalam rangka menjawab kebutuhan publik akan informasi yang akan ber-relasi dengan produk karya jurnalistik berkualitas. Sehingga proses perubahan bentuk sumber pendapatan dapat langsung dijalankan oleh seluruh tim yang ada.
Segmentasi pelanggan
Dalam sumber yang sama meminjam istilah Ignatius Haryanto dalam menerapkan sistem langganan atau subscribtion based, media perlu melakukan pendekatan intensif kepada para audiens. Namun pertama-tama harus melakukan assessment untuk mengenal lebih jauh kalangan mana yang menjadi pembaca.
Pemetaan calon pelanggan untuk langganan digital, sangat diperlukan dalam mencapai target sasaran yang tepat secara efektif, efisien dan presisi. Sehingga keberlangsungan pelanggan dalam langganan digital pemasukannya dapat berjalan secara berkelanjutan.
Catatan pentingnya adalah, media pers harus sigap, cepat dan tanggap dalam membaca suatu kondisi. Untuk melihat alternatif lainya berupa langganan digital, dengan memberlakukan sistem iuran dengan biaya terjangkau. Selain itu kualitas produk karya jurnalistiknya ( Berita, opini dan feature) harus dibuat menarik, baik, enak dibaca dan selalu ditunggu oleh publik kehadirannya.
Memang masyarakat Indonesia beda budaya dengan masyarakat Amerika, dalam literasi media. Namun minimal prinsip positifnya secara nyata telah dilakukan oleh The New York Times dan telah membuktikannya. Kompas dan Tempo di Indonesia sudah mempraktikkannya.
(Redaksi Warta Perwira)