
WARTAPERWIRA.COM – Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) digagas sebagai motor penggerak ekonomi pedesaan, lahir dari semangat Undang-Undang Desa untuk menghadirkan kemandirian, pemerataan, dan pemberdayaan warga di akar rumput. Namun, setelah hampir satu dekade bergulir, banyak BUMDes justru menjadi simbol kegagalan tata kelola, mangkrak, bahkan berpotensi menjadi ladang korupsi.
Data Bumdes menurut Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
Menurut data Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) total BUMDes: per 22 Juni 2024 mencapai 65.941 unit di seluruh Indonesia. BUMDes yang aktif menjalankan usaha tercatat 75,8 %, sehingga 24,2 % atau sekitar 1 dari 4 BUMDes belum aktif (tidak menjalankan operasional usaha). Artinya sekitar 15.950 BUMDes mangkrak, dengan jumlah yang sama sekali belum bergerak dalam kegiatan usaha – meskipun telah mendapat modal awal. (dikutip dari: antaranews.com)
Kondisi ini bukan tanpa sebab. Salah satu persoalan utama adalah penggunaan dana modal awal yang tidak tepat sasaran. Alih-alih dialokasikan untuk kegiatan produktif, seperti unit usaha pertanian, perdagangan, atau simpan pinjam, banyak BUMDes justru memprioritaskan pembangunan fisik berupa kantor megah, kendaraan operasional, hingga perlengkapan mewah yang tidak berdampak langsung pada ekonomi warga.
Lebih parah lagi, sejumlah BUMDes terjebak dalam pengelolaan yang tidak transparan. Pertanggungjawaban keuangan minim, laporan usaha fiktif, bahkan tidak sedikit yang tidak jelas siapa pengelolanya, karena hanya dijadikan alat politik lokal atau proyek musiman jelang pemilu.
Padahal secara konsep, BUMDes adalah lembaga ekonomi yang dibentuk dan dimiliki oleh desa, dikelola secara kolektif oleh masyarakat desa untuk meningkatkan pendapatan asli desa (PADes) dan membuka lapangan kerja. Harapan itu kandas saat semangat gotong royong digantikan oleh praktik nepotisme dan pengabaian prinsip akuntabilitas.
Warta Perwira memandang bahwa pemerintah perlu mengevaluasi besar-besaran kebijakan pengelolaan BUMDes. Tidak cukup dengan pelatihan atau regulasi normatif, dibutuhkan political will untuk menertibkan dan menindak desa yang menyalahgunakan dana BUMDes. Pengawasan harus diperketat, bukan hanya oleh inspektorat dan aparat hukum, tetapi juga oleh media dan masyarakat sipil.
BUMDes bukan proyek gagah-gagahan. Ia adalah denyut ekonomi desa. Jika terus dibiarkan mangkrak, BUMDes bukan lagi solusi kemiskinan, tapi justru menjadi catatan buruk demokratisasi pembangunan di tingkat akar rumput.
Warga desa berhak atas pengelolaan dana desa yang jujur dan berpihak pada mereka. Maka, saatnya kita bertanya: apakah BUMDes di desa kita benar-benar bekerja untuk rakyat, atau hanya menjadi proyek elitis yang gagal bertumbuh?
Redaksi Warta Perwira