
WARTAPERWIRA.COM – Paguyuban kelas pada dasarnya lahir dari semangat kekeluargaan antar wali murid. Tujuannya mulia: sebagai ruang berbagi informasi, koordinasi ringan, serta mempererat hubungan antarorang tua siswa. Namun dalam praktik di berbagai sekolah, fungsi paguyuban kerap bergeser. Ia bukan lagi sekadar ruang komunikasi, melainkan menjadi legitimasi pungutan yang dibungkus dengan dalih kesepakatan, terutama menjelang acara seperti perpisahan, studi tour, atau ulang tahun sekolah.
Yang mengkhawatirkan, iuran sering kali ditentukan oleh segelintir pengurus paguyuban dan kemudian dipaksakan kepada seluruh orang tua. Frasa “ini sudah disepakati” menjadi tameng untuk membungkam suara-suara keberatan. Padahal, dalam sistem pendidikan nasional, tidak ada dasar hukum yang memberikan paguyuban kewenangan untuk melakukan pungutan wajib.
Lebih dari itu, paguyuban bukan entitas formal dalam struktur pendidikan. Ia tidak memiliki kedudukan hukum, tidak bertanggung jawab langsung kepada sekolah, dan tidak diwajibkan menyusun laporan keuangan. Ketika paguyuban diberi peran seperti bendahara bayangan, sesungguhnya sekolah telah menciptakan ruang abu-abu dalam tata kelola dana pendidikan.
Fungsi Paguyuban Kelas
Padahal, sejatinya paguyuban wali murid dibentuk untuk mendorong partisipasi orang tua dalam kemajuan pendidikan anak. Ia dapat berfungsi sebagai pengawas eksternal, menjadi mitra sekolah, serta membantu mencegah potensi maladministrasi. Paguyuban seharusnya menjadi wadah kontrol sosial, memperkuat semangat gotong royong, memberikan masukan positif bagi sekolah, dan menjadi teladan dalam menegakkan nilai-nilai kebaikan.
Namun kini, tidak sedikit paguyuban bermetamorfosis menjadi pintu pungutan. Ini mencoreng kembali wajah pendidikan yang mestinya menjunjung tinggi nilai kejujuran, etika, keadilan, dan kebajikan.
Manuver oknum paguyuban kian beragam. Mulai dari pungutan untuk perbaikan fasilitas, pembelian LKS, kalender sekolah, seragam, biaya les tambahan, sumbangan untuk guru, hingga perpisahan di tempat mewah—semuanya dilakukan atas nama “inisiatif wali murid”. Sayangnya, sebagian besar berasal dari arahan atau persetujuan sekolah itu sendiri. (Sumber: Ombudsman RI)
Fungsi Komite Sekolah yang Sering Dibiarkan Lumpuh
Dalam konteks ini, seharusnya Komite Sekolah tampil sebagai pengawas dan penyeimbang. Berdasarkan Permendikbud No. 75 Tahun 2016, fungsi utama komite adalah:
Memberi pertimbangan dalam penyusunan kebijakan dan program sekolah.
Mendukung secara sukarela, baik dalam bentuk tenaga, pemikiran, maupun sumber daya lain.
Mengawasi pelayanan pendidikan di sekolah agar sesuai prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Menampung dan menyalurkan aspirasi orang tua dan masyarakat terhadap program pendidikan.
Namun dalam banyak kasus, komite sekolah justru pasif—atau lebih parah, ikut terlibat dalam menyetujui iuran melalui paguyuban kelas dengan dalih “kesepakatan orang tua”. Ini jelas bentuk pembiaran terhadap pelanggaran administratif. Bahkan Ombudsman RI berkali-kali menyatakan bahwa komite sekolah tidak boleh menjadi alat pungutan liar, apalagi melibatkan pihak informal seperti paguyuban kelas untuk menarik dana atas nama partisipasi.
Penegasan
Jika sekolah membiarkan paguyuban berjalan tanpa kontrol dan komite sekolah hanya menjadi simbol formalitas, maka sesungguhnya telah terjadi pembiaran sistemik terhadap pungutan liar.
Kini saatnya Dinas Pendidikan dan para pengawas sekolah turun tangan:
Membenahi fungsi Komite Sekolah,
Membatasi ruang gerak paguyuban agar tidak menyimpang,
Mengedukasi kepala sekolah agar tidak berlindung di balik frasa “kesepakatan wali murid melalui paguyuban kelas”.
Keterlibatan publik juga penting: orang tua berhak bertanya, menyampaikan keberatan, dan menuntut transparansi. Dunia pendidikan harus dijaga dari praktik yang mencederai nilai-nilai kejujuran, keterbukaan, dan keadilan.
Redaksi Warta Perwira