01.07.2025
Ilustrasi: karya jurnalistik dan cuapan media sosial (sumber: freepik)
Ilustrasi: karya jurnalistik dan cuapan media sosial (sumber: freepik)

WARTAPERWIRA.COM – Di era digital seperti sekarang, informasi datang silih berganti tanpa jeda. Media sosial telah menjadi ruang publik baru, tempat siapa saja bisa menyampaikan pendapat, menyebarkan informasi—baik fakta maupun bualan—bahkan membentuk opini. Namun, di tengah derasnya arus tersebut, muncul pertanyaan penting: masihkah ada batas yang jelas antara karya jurnalistik dan cuapan media sosial?

Karya jurnalistik adalah hasil dari proses panjang yang mengedepankan verifikasi, keberimbangan, dan tanggung jawab etik. Seorang jurnalis tidak hanya melaporkan apa yang ia lihat dan dengar, tetapi juga menyaringnya melalui prinsip-prinsip dasar jurnalistik: fakta, konteks, dan kepentingan publik. Jurnalisme sejati tidak boleh tergoda oleh klik, sensasi, atau emosi sesaat.

Sebaliknya, media sosial sering kali menjadi panggung ekspresi personal. Tanpa proses verifikasi, informasi yang beredar di sana kerap bersifat opini pribadi, framing subjektif, atau bahkan hoaks. Ketika akun-akun tanpa kompetensi jurnalistik mengklaim dirinya sebagai sumber berita, publik berisiko kehilangan kejelasan antara fakta dan bualan.

Fenomena ini tidak bisa dianggap remeh. Banyak warganet menjadikan unggahan viral sebagai kebenaran mutlak, sementara jurnalisme yang bertanggung jawab justru sering dicurigai lamban atau terlalu berhati-hati. Padahal, kehati-hatian itulah yang membedakan seorang jurnalis dari komentator biasa. Sayangnya, di tengah persaingan algoritma dan budaya kecepatan, kualitas kadang dikorbankan oleh keinginan menjadi yang pertama.

Tanggung Jawab dan Implikasi Hukum Karya Jurnalistik dan Cuapan Media Sosial

Karya jurnalistik tunduk pada Kode Etik Jurnalistik dan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Jika melanggar prinsip-prinsip jurnalistik—seperti menyebarkan berita bohong, fitnah, atau tidak berimbang—media dapat dikenai sanksi etik oleh Dewan Pers, dan dalam kasus berat, menghadapi gugatan pidana atau perdata, terutama jika memuat unsur pencemaran nama baik atau hoaks.

Sementara itu, cuapan media sosial—yang seringkali tanpa sumber, tanpa fakta, dan penuh provokasi—juga tidak lepas dari jerat hukum. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Pasal 27 dan 28 secara tegas melarang penyebaran informasi bohong, penghinaan, pencemaran nama baik, dan ujaran kebencian. Pelanggaran ini dapat diancam dengan pidana penjara hingga 6 tahun dan/atau denda hingga Rp1 miliar.

Ironisnya, sebagian pengguna media sosial menganggap kebebasan berekspresi berarti bebas tanpa batas. Padahal, kebebasan tanpa tanggung jawab justru membuka jalan bagi konflik, perpecahan, bahkan kriminalisasi. Demikian pula media yang tergoda oleh rating dan algoritma, bisa kehilangan arah dan mengorbankan integritas demi sensasi sesaat.

Ketika Cuapan Jadi Alarm Awal

Namun, tak bisa dipungkiri, media sosial juga memiliki sisi terang. Tidak jarang, kasus-kasus besar justru terungkap dari keberanian masyarakat menyuarakan kebenaran melalui media sosial. Beberapa di antaranya bahkan menjadi titik awal liputan investigatif oleh media profesional yang kemudian mendorong perubahan sosial dan kebijakan.

Contohnya:

  • Kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. Unggahan korban di Twitter/X memicu gerakan #NamaBaikKampus yang kemudian mendorong puluhan pengakuan lainnya. Media menindaklanjuti secara serius, hingga mendorong terbentuknya Satuan Tugas Pencegahan Kekerasan Seksual di berbagai universitas.

  • Kasus pembunuhan Brigadir J (2022). Awalnya publik mencium kejanggalan dari versi resmi. Viralnya isu ini di media sosial mendorong media menggali lebih dalam. Hasilnya, fakta-fakta penting terbuka, dan publik akhirnya mengetahui adanya skenario rekayasa pembunuhan oleh aparat penegak hukum sendiri.

  • Kasus perundungan siswa hingga bunuh diri di sejumlah sekolah juga bermula dari unggahan warganet yang viral, kemudian dikawal oleh media hingga mendorong perhatian dari pihak berwenang.

Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa media sosial dapat berfungsi sebagai alarm awal, tetapi tetap dibutuhkan kerja jurnalistik yang sistematis dan profesional agar informasi tersebut valid, utuh, dan bertanggung jawab. Publik perlu diajak tidak berhenti pada viralitas, tapi juga mendorong penyelesaian yang adil dan faktual.

Bijak Menyikapi, Tegas Menjalankan

Warta Perwira percaya bahwa jurnalisme dan media sosial bisa saling melengkapi—asal tahu batasnya. Media tidak boleh menutup telinga dari suara publik, namun tidak boleh juga meninggalkan prinsip dasar verifikasi. Di sisi lain, masyarakat harus semakin cerdas dan sadar bahwa setiap unggahan digital memiliki konsekuensi hukum dan sosial.

Kita hidup di zaman ketika jari bisa menjadi alat perlawanan, tetapi juga alat penghancur. Oleh karena itu, baik jurnalis maupun pengguna media sosial, sama-sama dituntut untuk bijak, cermat, dan bertanggung jawab dalam menyampaikan dan menyebarkan informasi.

Karena menyuarakan kebenaran bukan sekadar berbicara—tetapi bagaimana cara kita berbicara dan untuk siapa kita bersuara.

Redaksi Warta Perwira

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *