13.12.2025
Foto : Kepolisian Republik Indonesia (POLRI)

Foto : Kepolisian Republik Indonesia (POLRI)

WARTAPERWIRA.COM-Negara hukum berdiri di atas satu dasar utama yaitu supremasi konstitusi. Setiap kebijakan, terlebih yang menyangkut kekuasaan aparat negara, wajib tunduk pada UUD 1945 dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Namun dasar ini diguncang ketika muncul regulasi internal Polri yang membuka peluang bagi anggota Polri aktif untuk menduduki 17 jabatan Aparatur Sipil Negara (ASN) tertentu dengan merujuk pada PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS. Kebijakan tersebut justru berseberangan dengan putusan MK yang secara eksplisit melarang anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil di luar ketentuan undang-undang

 

Anggota Polri ke Jabatan Sipil ?

Pakar hukum tata negara  Refly Harun mengingatkan bahwa Polri secara desain konstitusional ditempatkan sebagai alat negara di bidang keamanan, bukan bagian dari birokrasi sipil. Menurutnya, “anggota Polri yang ingin menduduki jabatan sipil harus melepaskan status keanggotaannya,” karena prinsip ini dimaksudkan untuk menjaga profesionalisme, netralitas, serta mencegah konflik kepentingan. Ketika prinsip ini dilanggar, maka garis pemisah antara kekuasaan sipil dan kekuatan bersenjata menjadi kabur

Secara hierarki peraturan perundang-undangan, PP Nomor 11 Tahun 2017 tidak dapat digunakan untuk mengabaikan putusan MK. Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti bahkan mengingatkan bahwa praktik semacam ini menunjukkan gejala constitutional disobedience, yakni ketika lembaga negara secara sadar menghindari atau mengakali konstitusi melalui celah regulasi teknis. Ia menilai, pembiaran terhadap praktik ini akan menciptakan preseden buruk dan menggerus kewibawaan hukum.

Kritik tidak hanya datang dari kalangan akademisi. Respons masyarakat sipil yang diliput berbagai media nasional menunjukkan kekhawatiran luas terhadap dampak kebijakan tersebut. Koalisi masyarakat sipil untuk reformasi sektor keamanan menilai bahwa penempatan anggota Polri aktif dalam jabatan ASN berpotensi menghidupkan kembali praktik dwifungsi dalam bentuk baru. Dalam pernyataan yang dimuat sejumlah media, menegaskan bahwa “reformasi Polri pasca-1998 justru bertujuan memisahkan secara tegas fungsi keamanan dan fungsi sipil.”

Di ruang publik, suara masyarakat juga menguat. Berbagai  media mencatat kekhawatiran ASN karier yang menilai kebijakan ini mencederai prinsip meritokrasi dan keadilan birokrasi. Jabatan ASN yang seharusnya diisi melalui mekanisme profesional dan kompetitif justru berpotensi didominasi oleh aparat bersenjata yang memiliki keunggulan struktural dan kekuasaan simbolik. Kondisi ini bukan hanya tidak adil, tetapi juga berbahaya bagi tata kelola pemerintahan yang demokratis.

Lebih jauh, kebijakan ini bertentangan dengan prinsip supremasi sipil yang menjadi ruh negara demokrasi modern. Ketika aparat keamanan aktif masuk ke jabatan sipil, maka relasi kuasa menjadi timpang. Dalam situasi demikian, kontrol sipil terhadap institusi keamanan justru melemah, padahal reformasi sektor keamanan menempatkan kontrol sipil sebagai pilar utama.

Jika dibiarkan, praktik ini akan menciptakan normalisasi pelanggaran konstitusi. Hari ini putusan MK diabaikan melalui regulasi internal, esok hari konstitusi bisa dinegosiasikan atas nama kepentingan institusi. Negara hukum pun beresiko berubah menjadi negara kekuasaan yang tunduk pada tafsir sepihak

” Menjaga konstitusi berarti menjaga masa depan demokrasi. Ketika konstitusi dilanggar secara terbuka, yang terancam bukan hanya hukum, tetapi juga kepercayaan publik terhadap negara “

 

Regulasi Konstitusi-Regulasi Institusi

Dalam perspektif ketatanegaraan, pembiaran terhadap regulasi yang bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi akan menciptakan krisis kepatuhan konstitusi (constitutional compliance crisis). Ketika lembaga penegak hukum justru menjadi pihak yang menguji batas kepatuhan terhadap konstitusi, maka pesan yang sampai ke publik adalah bahwa hukum dapat dinegosiasikan oleh kekuasaan. Kondisi ini berbahaya karena merusak legitimasi negara hukum itu sendiri.

Pada saat yang sama, masyarakat sipil dan media massa memegang peran krusial sebagai penjaga nalar publik. Pengalaman demokrasi menunjukkan bahwa pelanggaran konstitusi sering kali dimulai dari kebijakan teknis yang tampak administratif, namun berdampak sistemik. Tanpa kontrol publik yang kuat, praktik semacam ini akan perlahan menjadi kebiasaan yang dilegitimasi.

Akhirnya, persoalan ini bukan semata tentang siapa yang boleh menduduki jabatan ASN, melainkan tentang arah negara hukum Indonesia. Apakah konstitusi benar-benar menjadi hukum tertinggi, ataukah dapat dikesampingkan oleh kepentingan institusional? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan kualitas demokrasi kita ke depan.

Namun tidak semua pakar sepakat pada tafsir yang sama. Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa putusan MK menimbulkan kesalahpahaman yang mampu menimbulkan interpretasi berbeda soal ruang lingkup jabatan yang diperbolehkan.

 

Pakar hukum berpendapat 

Prof. Mahfud MD (Pakar Hukum Tata Negara) menilai Peraturan Polri terbaru bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi, sehingga memicu perdebatan publik luas tentang konstitusionalitas aturan internal institusi terhadap putusan pengadilan tertinggi.

Komentar Mahfud MD yang mengejutkan terkait peraturan Polri yang bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi

Aan Eko Widiarto (Pakar Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya) menilai putusan Mahkamah Konstitusi menciptakan aturan tegas bahwa anggota Polri yang hendak menduduki jabatan sipil harus mundur atau pensiun dari dinas kepolisian, karena celah norma sebelumnya telah dihapus oleh MK. https://m.antaranews.com/berita/5244221/pakar-nilai-putusan-mk-soal-polisi-ciptakan-aturan-tegas-penugasan?

Nurul Ghufron (Pengamat Hukum & Mantan KPK) menyatakan bahwa putusan MK Nomor 114/PUU-XIII/2025 berlaku final dan mengikat serta harus menjadi norma baru yang ditaati, sehingga pejabat Polri aktif yang masih berada dalam jabatan sipil harus menyesuaikan dengan norma tersebut. https://imcnews.id/read/2025/11/21/25945/putusan-mk-soal-polisi-aktif-tak-boleh-duduki-jabatan-sipil-sudah-final-dan-mengikatg?

Fatkhul Muin  (Untirta) memberi komentar bahwa anggota Polri masih bisa menduduki jabatan sipil asalkan sesuai ketentuan UU ASN dan tupoksi kepolisian, tetapi posisi ini pun menunjukkan kompleksitas tafsir norma yang menjadi sorotan publik.(https://news.detik.com/berita/d-8211279/pakar-hukum-nilai-polisi-masih-bisa-tempati-jabatan-sipil-di-posisi-sesuai-tupoksi-polri?

 

“ Menjaga konstitusi bukanlah tindakan oposisi, melainkan bentuk tertinggi dari patriotisme konstitusional. Sebab ketika hukum tertinggi dihormati, keadilan dan demokrasi memiliki peluang untuk tetap hidup “

 

 

 

 

Redaksi – Wartaperwira

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *